Sejarah Alkitab Deuterokanonika

ALKITAB DEUTEROKANONIKA

Kitab-kitab deuterokanonika (bahasa Inggris: deuterocanonical) adalah suatu istilah yang digunakan sejak abad ke-16 dalam Gereja Katolik Roma dan Kekristenan Timur untuk mendeskripsikan berbagai kitab dan bagian tertentu Perjanjian Lama Kristen yang bukan merupakan bagian dari Alkitab Ibrani saat ini. Istilah ini digunakan sebagai pembeda dengan kitab-kitab protokanonika yang terdapat dalam Alkitab Ibrani tersebut. Perbedaan ini sebelumnya menimbulkan perdebatan dalam Gereja perdana sehubungan dengan apakah kitab-kitab tersebut dapat digolongkan sebagai naskah-naskah kanonik. Istilah deuterokanonika digunakan dengan alasan untuk memberikan kemudahan bagi Gereja Tewahedo Ortodoks Ethiopia dan Gereja lainnya untuk merujuk pada kitab-kitab Perjanjian Lama mereka yang bukan merupakan bagian dari Teks Masoret.

Kitab-kitab deuterokanonik tersebut dianggap kanonik oleh kalangan Katolik, Ortodoks Timur, Ortodoks Oriental, dan Gereja dari Timur (termasuk Gereja Asiria dari Timur), tetapi tidak dianggap kanonik oleh kebanyakan kalangan Protestan. Kata deuterokanonika sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti termasuk kanon kedua“.

Penggunaan awal dari istilah tersebut membedakan kitab-kitab suci ini dianggap sebagai non-kanonik, sedangkan kitab-kitab suci pertama dianggap protokanonik. Namun beberapa versi Alkitab memasukkan naskah yang berasal baik dari deuterokanonika maupun kitab-kitab non-kanonik ke dalam satu bagian tertentu yang disebut “Apokrifa”. Pengaturan demikian dapat menyebabkan terjadinya penyamaan kedua istilah yang berbeda (“deuterokanonik” dan “apokrif”), karena istilah “deuterokanonik” tidak berarti “non-kanonik” (atau “apokrif”).

TEOLOGI DALAM PANDANGAN GEREJA KATOLIK;

Philip Schaff (sejarahwan gereja dan teolog protestan berpendidikan Jerman), mengatakan bahwa “Konsili Hippo pada tahun 393, dan Konsili Kartago yang ketiga pada tahun 397, di bawah pengaruh Agustinus yang hadir dalam kedua konsili tersebut, menetapkan kanon Kitab Suci Katolik, termasuk Apokrifa Perjanjian Lama;— Bagaimanapun keputusan ini tunduk pada ratifikasi gereja seberang lautan (Roma); dan persetujuan dari Tahta Roma yang diterimanya pada masa Innosensius I dan Gelasius I (414 M) mengulangi daftar kitab-kitab biblika yang sama. Kanon ini tetap tak terganggu sampai abad ke-16, dan disetujui oleh Konsili Trente pada sesi keempat.

Konsili Trente pada tahun 1546 mendukung keputusan konsili-konsili sebelumnya mengenai kitab-kitab apa saja yang termasuk dalam kanon. Mayoritas peserta konsili di Trente mendukung keputusan ini, tetapi terdapat minoritas peserta yang tidak setuju dengan kitab-kitab ini untuk diterima di dalam kanon. Di antara kalangan minoritas yang tidak setuju dengan dimasukkannya kitab-kitab deuterokanonika dalam Kanon adalah Kardinal Girolamo Seripando dan Thomas Cajetan, —yang menjadi penentang Martin Luther di Augsburg. Para bapa Konsili Trente mengkonfirmasi pernyataan-pernyataan dari berbagai konsili regional sebelumnya yang juga memasukkan kitab-kitab deuterokanonika ke dalam kanon, misalnya Konsili (Sinode) Hippo tahun 393 dan Konsili Kartago tahun 397.

Deuterokanonika Perjanjian Lama;

Teks-teks Kitab Suci Deuterokanonika PL Katolik adalah:

  1. Tobit
  2. Yudit
  3. Kebijaksanaan (disebut juga Kebijaksanaan Salomo)
  4. Sirakh, juga disebut Putera Sirakh atau Eklesiastikus
  5. Barukh, termasuk di dalamnya Surat Nabi Yeremia (Tambahan Yeremia dalam Septuaginta)
  6. 1 Makabe
  7. 2 Makabe
    -Tambahan Ester (Ester Vulgata 10:4-16:24)
    -Tambahan Daniel:
    • Doa Azarya dan Lagu Pujian Ketiga Pemuda (Daniel Vulgata 3:24-90)
    • Kisah Susana dan Daniel (Daniel Vulgata 13, prolog Septuaginta)
    • Daniel dengan Dewa Bel dan Naga Babel (Daniel Vulgata 14, epilog Septuaginta).

LATAR BELAKANG SEJARAH DEUTEROKANONIKA

Deuterokanonika adalah suatu istilah yang dicetuskan tahun 1566 oleh Sixtus dari Siena, seorang teolog yang melakukan konversi dari Yudaisme ke Katolik, untuk mendeskripsikan teks-teks kitab suci Perjanjian Lama yang dipandang kanonik oleh Gereja Katolik, tetapi tidak termasuk di dalam Alkitab Ibrani yang sekarang, dan termasuk juga beberapa kitab yang pernah diabaikan oleh beberapa pendaftar kanon awal, terutama di Timur.

Penerimaannya di antara jemaat Gereja perdana menyebar luas, walaupun tidak universal, dan Alkitab Gereja perdana selalu menyertakan, dengan berbagai tingkat pengakuan, kitab-kitab yang sekarang disebut deuterokanonika. Beberapa mengatakan bahwa kanonisitas kitab-kitab tersebut tampaknya tidak pernah diperdebatkan dalam Gereja sampai mendapat tentangan dari kalangan Yahudi setelah tahun 100 Masehi, terkadang merujuk pada Konsili Yamnia (suatu konsili yang berupa dugaan dan teori). Konsili-konsili regional di Barat mengumumkan kanon-kanon resmi yang mencakup kitab-kitab tersebut pada awal abad ke-4 dan 5.

Di Yerusalem terjadi suatu pembaharuan, atau setidaknya suatu peninggalan, dari gagasan-gagasan kaum Yahudi, yakni suatu kecenderungan adanya ketidaksukaan terhadap kitab-kitab ‘deutero’ tersebut. Santo Sirilus dari Yerusalem menegaskan hak Gereja untuk menetapkan Kanon Alkitab, tetapi menempatkan kitab-kitab tersebut dalam daftar apokrifa dan melarangnya untuk tidak dibacakan di dalam gereja tetapi untuk dibaca secara pribadi. Sementara di Antiokhia dan Suriah masih lebih disukai. St. Epifanius dari Salamis ragu-ragu mengenai tingkatan kitab-kitab ‘deutero’. Ia menghormatinya, tetapi kitab-kitab tersebut dianggapnya tidak setara dengan kitab-kitab Ibrani. Di sisi lain, versi oriental dan naskah Yunani yang berasal dari masa tersebut lebih liberal (luas) karena mencakup semua kitab deuterokanonika dan — dalam beberapa kasus — mencakup semua apokrifa tertentu.

Dalam Gereja Latin, sepanjang Abad Pertengahan, terdapat bukti adanya keraguan mengenai posisi kitab-kitab deuterokanonika. Ada pihak yang menyukainya, ada pihak lain yang tidak menyukainya sehubungan dengan tingkatan kesucian dan otoritasnya. Dalam kebimbangan mengenai kedua hal tersebut, ada sejumlah penulis yang penghormatannya terhadap kitab-kitab ini lebih didasari pada beberapa kebingungan dibanding kedudukan sebenarnya dari semua kitab tersebut, dan di antara mereka adalah St. Thomas Aquinas. Ada sedikit yang mengakui secara tegas kanonisitas kitab-kitab itu. Posisi yang dominan di kalangan penulis abad pertengahan dari Barat pada hakikatnya merupakan sikap para bapa gereja Yunani itu. Penyebab utama fenomena ini di Barat mungkin merupakan pengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari ‘Prologus Galeatus‘ karya St. Hieronimus yang tampak melemahkan kitab-kitab tersebut.

Sementara itu, “kitab-kitab protokanonika dari Perjanjian Lama sama seperti kitab-kitab dari Alkitab bangsa Ibrani, dan sama seperti Perjanjian Lama yang diterima umat Protestan.”

  • Prologus Galaetus atau Galeatum principium (secara tradisional diterjemahkan sebagai “helmeted prologue”) adalah kata pengantar oleh Saint Jerome, tertanggal 391-392, untuk terjemahannya Liber Regum (buku Raja-Raja yang terdiri dari empat bagian: buku pertama dan kedua dari Raja dan buku pertama dan kedua dari Samuel). Dalam teks ini, Jerome menegaskan penentangannya terhadap kitab-kitab Perjanjian Lama yang berada di luar kanon Ibrani. Jerome menulis: “Prolog untuk Kitab Suci ini mungkin sesuai sebagai pengantar (helmeted prologue) untuk semua buku yang mana kita beralih dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Latin, jadi kita mungkin dapat mengetahui apa pun yang ada di luar ini yang dikesampingkan di antara apokrifa. Karena itu, Kebijaksanaan, yang umumnya dianggap berasal dari Salomo, dan buku Yesus putra Sirakh, dan Judith dan Tobias, dan Gembala (The Shepherd) tidak ada dalam kanon. Saya telah menemukan Kitab Makabe Pertama adalah bahasa Ibrani, yang kedua adalah bahasa Yunani, yang juga dapat dibuktikan dengan gaya mereka.”

Naskah Laut Mati
Fragmen-fragmen dari tiga kitab deuterokanonika didapati dari Naskah Laut Mati yang ditemukan di Qumran, di samping beberapa salinan parsial dari 1 Henokh dan Yobel dari deuterokanon Ethiopia. Sirakh, dengan teks Ibrani telah diketahui berasal dari Geniza Kairo, ditemukan dalam rupa dua gulungan naskah (2QSir atau 2Q18, 11QPs_a atau 11Q5) dalam bahasa Ibrani. Gulungan naskah Ibrani lainnya dari Sirakh ditemukan di Masada (MasSir). Kitab Tobit ditemukan di Qumran dalam empat gulungan yang ditulis dalam bahasa Aram dan satu gulungan dalam bahasa Ibrani. Surat Nabi Yeremia (atau Barukh bab 6) ditemukan dalam gua 7 (papirus 7Q5) dalam bahasa Yunani. Beberapa akademisi baru-baru ini memiliki teori bahwa perpustakaan Qumran tidak sepenuhnya merupakan koleksi dari Qumran, tetapi mungkin memasukkan koleksi dari perpustakaan Bait Allah (Yerusalem), yang kemungkinan telah disembunyikan di gua-gua untuk diamankan pada saat itu ketika Bait tersebut dihancurkan bangsa Romawi pada tahun 70.

Pengaruh Septuaginta
Sebagian besar kutipan Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru diambil dari Septuaginta Yunani Koine (LXX), yang mencakup kitab-kitab deuterokanonika maupun apokrifa dan keduanya secara kolektif disebut “anagignoskomena” (bahasa Yunani: ἀναγιγνωσκόμενα) —artinya hal-hal untuk dibaca atau “bacaan yang bermanfaat”. Septuaginta (bahasa Latin yang berarti “tujuh puluh”) adalah sebuah terjemahan Alkitab Ibrani dan beberapa teks terkait ke dalam bahasa Yunani Koine. Sebagai terjemahan Yunani yang utama dari Perjanjian Lama, maka Septuaginta disebut juga Perjanjian Lama Yunani. Tidak ada dua kodeks Septuaginta yang mengandung apokrifa yang sama, dan ketiga naskah paling awal dari LXX memperlihatkan ketidakpastian mengenai kitab-kitab mana yang membentuk secara lengkap daftar Apokrifa tersebut. Kodeks Vaticanus (B) tidak mengandung 1—4 Makabe tetapi mencakup 1 Esdras, sedangkan Kodeks Sinaiticus (Aleph) mengabaikan Barukh, tetapi mencakup 4 Makabe.

  • Codex Vaticanus (Vatikan, Bibl. Vat., Codex Vaticanus Graecus 1209 (Vat. gr. 1209); Gregory-Aland no. B atau 03, δ 1 von Soden) adalah salah satu naskah manuskrip Alkitab tertua yang masih ada. Naskah ini sedikit lebih tua daripada Codex Sinaiticus, keduanya kemungkinan disalin pada abad ke-4. Codex Vaticanus ditulis dalam bahasa Yunani menggunakan perkamen dengan huruf kapital atau huruf besar Yunani (uncial). Codex Vaticanus semulanya memuat sebuah salinan lengkap Septuaginta dan Perjanjian Baru, tetapi halaman 1519-1536 yang memuat kitab Ibrani 9:14 sampai Kitab Wahyu hilang dan diganti dengan sebuah suplemen naskah abad ke-15 dalam huruf Yunani minuskul (no. 1957). Naskah manuskrip ini telah disimpan di Perpustakaan Vatikan (didirikan oleh Paus Nikolas V pada 1448) sejak awal, dan sudah muncul pada katalogus paling awal pada tahun 1475.
    Sejarah sebelumnya naskah ini tidaklah diketahui, tetapi ada beberapa pakar yang menduga bahwa Kardinal Bessarion dahulu adalah pemiliknya, karena teks suplemen dalam huruf minuskul ini mirip dengan salah satu naskah manuskrip milik Bessarion lainnya. T.C. Skeat, seorang ahli paleografi British Museum, menyatakan bahwa Codex Vaticanus adalah salah satu dari 50 Alkitab yang pernah dipesan Kaisar Romawi Konstantinus I dari Eusebius dari Kaisarea untuk menuliskannya. Namun, beberapa menyatakan bahwa naskah-naskah manuskrip Kaisar Konstantinus termasuk jenis teks Bizantin, yang menghilangkan kemungkinan seperti ini.
    Codex Vaticanus adalah salah satu naskah manuskrip terpenting untuk merunut sejarah tekstual Alkitab dan merupakan anggota utama teks “tipe Alexandria”. Naskah ini digunakan secara intensif oleh Westcott dan Hort dalam edisi Yunani Perjanjian Baru mereka (1881).
    Naskah ini mengandung titik ganda misterius (disebut “umlaut”) yang terletak di marjin halaman Perjanjian Baru dan kelihatannya menunjukkan posisi varian-varian teks (variae lectionis). Namun pentarikhan titik-titik ganda ini masih diperdebatkan oleh para pakar.
  • Codex Sinaiticus (Codex Sinaiticus; sekarang disimpan di British Library, London, Add. 43725; Gregory-Aland no. א (Aleph) atau 01) adalah sebuah naskah manuskrip lengkap Perjanjian Baru yang berasal dari abad ke-4. Naskah ini ditulis menggunakan huruf kapital Yunani (uncial). Selain kitab Perjanjian Baru, naskah ini juga memuat bagian besar Septuaginta. Bersama dengan Codex Vaticanus, Codex Sinaiticus adalah salah satu naskah terpenting Perjanjian Baru dan juga Septuaginta dalam bahasa Yunani dalam merunut sejarah tekstualnya. Codex Sinaiticus ditemukan oleh Constantin von Tischendorf pada perjalannya yang ketiga ke Biara Santa Katarina, di Gunung Sinai, Mesir, 1859. Perjalanannya yang pertama dan kedua, menghasilkan penemuan potongan-potongan naskah dari Perjanjian Lama, beberapa di antaranya berasal dari tempat sampah. Tsar Alexander II dari Rusia lalu menyuruhnya untuk mencari naskah-naskah lain, yang diyakininya masih bisa ditemukan di biara Sinai ini.

Kodeks Alexandrinus mencakup LXX; sedangkan naskah Mazmur Yunani dari abad ke-5 mengandung tiga ‘mazmur’ Perjanjian Baru: Magnificat, Kidung Zakharia, Kidung Simeon dari narasi kelahiran Yesus menurut Lukas, dan akhir dari himne tersebut yang mana diawali dengan ‘Kemuliaan’. Beckwith menyatakan bahwa naskah seperti Kodeks Alexandrinus tidak digunakan pada abad pertama era Kekristenan, dan meyakini bahwa kodeks Septuaginta yang lengkap itu, yang mulai muncul pada abad ke-4, seluruhnya berasal dari Kekristenan.

  • Codex Alexandrinus (London, British Library, MS Royal 1. D. V-VIII; Gregory-Aland no. A or 02, Von Soden δ 4) adalah naskah Alkitab bahasa Yunani dari abad ke-5 M, memuat sebagian besar dari Perjanjian Lama (PL) versi Septuaginta, yaitu terjemahan bahasa Yunani dari Alkitab Ibrani, dan Perjanjian Baru (PB). Merupakan satu dari empat “Codex uncial agung” (“Great uncial codices”). Bersama dengan Codex Sinaiticus dan Vaticanus, merupakan naskah Alkitab yang tertua dan terlengkap. Brian Walton memberi kode Codex Alexandrinus dengan huruf besar Latin A dalam Polyglot Bible tahun 1657. Designasi ini dipertahankan ketika sistem pengkodean naskah dibakukan oleh Wettstein pada tahun 1751. Jadi, Alexandrinus menempati posisi pertama dalam daftar manuskrip.
    Namanya berasal dari kota Aleksandria tempat naskah ini disimpan selama bertahun-tahun sebelum dibawa oleh tokoh Gereja Ortodoks Timur Patriarkh Cyril Lucaris dari Alexandria ke Konstantinopel. Kemudian naskah itu diberikan kepada Charles I dari Inggris pada abad ke-17. Sampai pembelian Codex Sinaiticus di kemudian hari, naskah itu merupakan Alkitab Yunani terbaik yang disimpai di Britania Raya. Sekarang, naskah ini ditempatkan bersama-sama Codex Sinaiticus di kotak kaca Ritblat Gallery dalam British Library. Reproduksi fotografi lengkap volume Perjanjian Baru (Royal MS 1 D. viii) dapat dilihat di Situs web British Library.
    Karena tulisan di dalamnya berasal dari beberapa tradisi yang berbeda, maka nilai tekstual bagian-bagiannya pun tidak sama. Naskah ini telah disunting beberapa kali sejak abad ke-18.

Beberapa kitab deuterokanonika yang diduga aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani, tetapi beberapa naskah asli tersebut telah lama hilang. Temuan-temuan arkeologis kemudian menemukan kembali beberapa dari naskah tersebut, tertulis dalam bahasa Ibrani, di antara Naskah Laut Mati. Septuaginta secara luas diterima dan digunakan oleh orang-orang Yahudi berbahasa Yunani pada abad pertama Masehi, bahkan di Provinsi Yudea—yang adalah wilayah Romawi—dan oleh karena itu secara alami menjadi naskah yang paling luas digunakan oleh umat Kristiani awal (pada umumnya menggunakan bahasa Yunani).

Beberapa kalangan memiliki pandangan bahwa Ibrani 11:35, dalam Perjanjian Baru, merujuk suatu peristiwa yang tercatat dalam salah satu kitab deuterokanonika (2 Makabe). Sebagai contoh, penulis Surat Ibrani tersebut menyebut tradisi lisan yang berbicara mengenai seorang nabi Perjanjian Lama yang digergaji dalam Ibrani 11:37, dua ayat setelah ayat yang merujuk pada 2 Makabe. Penulis Perjanjian Baru lainnya seperti Paulus juga menyebut ataupun mengutip literatur yang akrab bagi para pembacanya saat itu tetapi tidak termasuk dalam protokanon maupun deuterokanon Perjanjian Lama.

Flavius Yosefus, seorang sejarawan Yahudi, mengatakan bahwa ada 22 kitab dalam kanon Alkitab Ibrani, suatu tradisi Yahudi yang juga dilaporkan oleh Uskup Athanasius. Namun Kitab Barukh dan Surat Nabi Yeremia termasuk dalam daftar 22 kitab Perjanjian Lama Athanasius. Pada saat yang sama, ia menyebutkan bahwa kitab-kitab tertentu lainnya (seperti kitab-kitab deuterokanonika, Didache, dan Gembala Hermas) walaupun tidak termasuk dalam kanon Perjanjian Baru, “ditetapkan oleh para bapa gereja untuk dibaca”. Ia sepenuhnya mengabaikan apa yang ia sebut “tulisan-tulisan apokrif”.

Pengaruh Hieronimus
Hieronimus dalam prolog-prolog Vulgata, menguraikan suatu kanon tanpa kitab-kitab deuterokanonika, mungkin selain Kitab Barukh. Dalam Prolog-prolog, Hieronimus menyebutkan semua karya deuterokanonika dan apokrif sebagai kitab-kitab apokrif atau “tidak terdapat dalam kanon” kecuali kitab Doa Manasye dan Barukh. Dia menyebutkan kitab Barukh dalam Prolog Kitab Yeremia dan memberi catatan bahwa kitab itu tidak dibaca maupun dimiliki oleh umat Ibrani, tetapi tidak secara eksplisit menyebutnya apokrif atau “tidak terdapat dalam kanon”. Beberapa kalangan menganggap bahwa status yang lebih rendah dikenakan pada kitab-kitab deuterokanonika oleh pihak otoritas seperti Hieronimus karena konsepsi kanonisitas yang terlalu kaku, suatu kitab agar dapat memperoleh martabat tertinggi ini harus diterima oleh semua kalangan, tidak ada kesangsian seturut sejarah kuno Yahudi, dan terlebih lagi tidak hanya diadaptasikan untuk kemajuan rohani, tetapi juga untuk “penegasan doktrin Gereja”.

Bagaimanapun pada akhirnya Hieronimus memasukkan kitab-kitab deuterokanonika serta apokrif ke dalam Vulgata. Ia mereferensikan dan mengutip beberapa di antaranya sebagai Kitab Suci sekalipun ia menyebut kitab-kitab tersebut “tidak terdapat dalam kanon”. Michael Barber menegaskan bahwa, meskipun Hieronimus pernah curiga terhadap “apokifa” tersebut, ia kemudian memandangnya sebagai Kitab Suci. Barber berpendapat bahwa hal ini jelas terlihat dari surat-surat yang ditulis Hieronimus; ia mengutip surat Hieronimus kepada Eustochium, di mana Hieronimus mengutip Sirakh 13:2. Di bagian lainnya Hieronimus tampaknya juga merujuk Barukh, Kisah Susana, dan Kebijaksanaan sebagai kitab suci.-(Inggris) Barber, Michael (2006-03-04) “Loose Canons: The Development of the Old Testament (Part 1)”.

Hieronimus, dalam prolognya untuk Kitab Yudit, tanpa menggunakan kata kanon, ia menyebutkan bahwa Kitab Yudit dianggap sebagai Kitab Suci oleh Konsili Nicea Pertama. Dalam balasannya kepada Rufinus, Hieronimus menegaskan bahwa ia selaras dengan pilihan Gereja mengenai versi dari bagian-bagian deuterokanonika Kitab Daniel yang digunakan, kendati kaum Yahudi pada masa itu tidak menyertakannya;

  • Dosa apakah yang telah kuperbuat jikalau aku mengikuti penilaian gereja-gereja? Namun saat aku mengulangi apa yang dikatakan orang-orang Yahudi tentang Kisah Susana dan Lagu Pujian Ketiga Pemuda, serta kisah Dewa Bel dan Naga Babel, yang mana tidak terdapat dalam Alkitab Ibrani, siapa yang membuat ini menjadi suatu dakwaan terhadapku sesungguhnya membuktikan dirinya sendiri adalah seorang bodoh dan pemfitnah. Karena aku bukan menjelaskan apa yang kupikirkan, tetapi apa yang biasa mereka katakan saat menentang kita. (Terhadap Rufinus, II:33, 402 Masehi)

Dengan demikian Hieronimus mengakui prinsip yang digunakan untuk menetapkan kanon —yaitu penilaian Gereja, bukan penilaiannya sendiri ataupun penilaian orang-orang Yahudi; meskipun, mengenai terjemahan Kitab Daniel dalam bahasa Yunani, ia bertanya-tanya mengapa harus menggunakan versi dari seorang penerjemah yang dianggapnya sebagai bidat dan yudaiser (Theodotion).

Vulgata juga penting sebagai tolok ukur kanon berkaitan dengan bagian mana saja, dari suatu kitab, yang dipandang kanonik. Ketika Konsili Trente menyusun daftar kitab-kitab yang termasuk dalam kanon, konsili ini memandang kitab-kitab tersebut memenuhi syarat “secara keseluruhan beserta semua bagiannya, sebagaimana kitab-kitab tersebut telah biasa dibacakan dalam Gereja Katolik, dan sebagaimana terdapat dalam edisi Vulgata Latin Kuno”. Dekret ini sedikit diklarifikasi oleh Paus Pius XI pada tanggal 2 Juni 1927, yang mengizinkan adanya perdebatan terbuka atas Comma Johanneum, dan lebih lanjut dijelaskan oleh Paus Pius XII dalam Divino afflante Spiritu.

Dalam Kekristenan Ortodoks
Di luar Gereja Katolik Roma, istilah “deuterokanonika” kadang-kadang digunakan sebagai analogi untuk menyebut kitab-kitab yang dimasukkan dalam Perjanjian Lama oleh Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Ortodoks Oriental, tetapi tidak menjadi bagian dari Tanakh Yahudi, ataupun Perjanjian Lama Protestan. Di kalangan Ortodoks, istilah ini diartikan bahwa kitab-kitab tersebut disusun secara terpisah dari kanon utama, seperti yang dijelaskan dalam 2 Esdras, di mana Esdras memerintahkan untuk menyimpan kitab-kitab tertentu secara terpisah dan tersembunyi.

  • Ortodoksi Timur
    Dalam tradisinya, Gereja Ortodoks Timur memasukkan semua kitab dari Septuaginta ke dalam Perjanjian Lama mereka. Kalangan Yunani menggunakan kata “Anagignoskomena” (Ἀναγιγνωσκόμενα “dapat dibaca, layak untuk dibaca”) untuk mendeskripsikan kitab-kitab Septuaginta Yunani yang tidak terdapat dalam Tanakh Ibrani. Para teolog Ortodoks menggunakan istilah “deuterokanonika” dalam arti yang tidak sama dengan penggunaan dalam Katolik Roma. Dalam Kekristenan Ortodoks, deuterokanonika berarti bahwa suatu kitab adalah bagian dari himpunan Perjanjian Lama (dibaca selama ibadat) namun otoritasnya sekunder. Dengan kata lain, deutero (kedua) diterapkan pada otoritas sekunder atau kuasa bersaksi; sedangkan dalam Katolik Roma, deutero diterapkan pada kronologi (dari kenyataan bahwa kitab-kitab ini dikonfirmasi kemudian), bukan otoritas sekunder.
    Kitab-kitab Perjanjian Lama Ortodoks Timur mencakup seluruh kitab deuterokanonika yang tercantum di atas, ditambah Kitab 3 Makabe dan 1 Esdras (juga terdapat dalam Vulgata Clementina), sedangkan Kitab Barukh terpisah dari Surat Nabi Yeremia. Sehingga secara keseluruhan menjadi 49 kitab Perjanjian Lama, sementara kanon Protestan adalah 39 kitab. Naskah-naskah kitab-kitab deuterokanonika tersebut diintegrasikan dengan keseluruhan Perjanjian lama, bukannya dicetak dalam bagian terpisah. Naskah lainnya yang dicetak dalam Kitab Suci Ortodoks dianggap memiliki nilai tertentu (seperti tambahan Mazmur 151, dan Doa Manasye) atau disertakan sebagai suatu lampiran (seperti 4 Makabe pada umat Yunani, dan 2 Esdras pada umat Slavia).
  • Ortodoksi Ethiopia
    Dalam Alkitab Amharik yang dipergunakan dalam Gereja Ortodoks Ethiopia (salah satu Gereja Ortodoks Oriental), kitab-kitab Perjanjian Lama yang tetap dipandang kanonik, meski tidak berlaku di semua Gereja lainnya, sering kali digabungkan dalam suatu bagian terpisah berjudul “Deeyutrokanoneekal” (ዲዩትሮካኖኒካል) —yang adalah kata yang sama dengan “Deuterokanonika”. Deuterokanon Ortodoks Ethiopia, selain daftar standar di atas, bersamaan dengan kitab-kitab Esdras dan Doa Minasse, juga memasukkan beberapa kitab yang hanya dianggap kanonik oleh Gereja Ethiopia tersebut, termasuk Henokh (1 Henokh), Kufale (Yobel) dan 1, 2, 3, Makabian (yang terkadang secara keliru dianggap sebagai “Kitab Makabe”).

Dalam Komuni Anglikan
Ada tumpang tindih antara bagian apokrifa dalam Alkitab King James yang asli tahun 1611 dengan deuterokanon Katolik, tetapi keduanya berbeda. Bagian apokrifa Alkitab King James 1611, selain kitab-kitab deuterokanonika, meliputi pula tiga kitab berikut yang tidak dinyatakan kanonik oleh Konsili Trente: 1 Esdras (3 Esdras dalam Vulgata); 2 Esdras (4 Esdras dalam Vulgata); dan Doa Manasye.—Ketiga kitab tersebut sendiri merupakan bagian apokrifa dari Vulgata Clementina, di mana ketiganya secara spesifik disebut “di luar rangkaian kanon”. Alkitab Douay-Rheims tahun 1609 memasukkan ketiga kitab ini dalam sebuah lampiran. Ketiga kitab tersebut sudah tidak dimasukkan dalam terjemahan Alkitab Katolik sekarang ini ke dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Ketiga kitab ini, bersamaan dengan kitab-kitab deuterokanonika, terdapat dalam bagian apokrif berbagai Alkitab Protestan.

Penggunaan kata apokrifa untuk naskah-naskah tersebut, meskipun tanpa maksud menghina, diartikan sebagian pihak bahwa tulisan-tulisan yang dipertanyakan tersebut tidak boleh dimasukkan ke dalam Kanon Alkitab. Klasifikasi ini mengelompokkan kitab-kitab tersebut bersama dengan kitab injil non-kanonik tertentu dan kitab-kitab apokrif Perjanjian Baru yang lain. Style Manual for the Society of Biblical Literature merekomendasikan penggunaan istilah “literatur deuterokanonika”, bukannya “Apokrifa”, dalam tulisan akademis.

39 Artikel dari Gereja Inggris mencantumkan bahwa kitab-kitab deuterokanonika cocok untuk dibaca sebagai “teladan hidup dan pengajaran tentang perilaku, tetapi tidak digunakan untuk menetapkan doktrin apapun.” Leksionari awal dari Gereja Anglikan (sebagaimana tercantum dalam Buku Doa Umum tahun 1662), mengandung bacaan-bacaan dari deuterokanonika, dan bagian-bagian darinya digunakan secara berkala dalam ibadat (misalnya Kyrie Pantokrator dan Benedicite).

Bacaan-bacaan dari kitab deuterokanonika saat ini dimasukkan dalam sebagian besar leksionari modern dalam Komuni Anglikan, berdasarkan pada Revised Common Lectionary (yakni berdasarkan pada leksionari Katolik Roma pasca Konsili Vatikan II), kendati bacaan alternatifnya dari kitab protokanonik disediakan juga.

Dalam Kekristenan yang berasal dari Reformasi Protestan;

Presbiterian
Pengakuan Iman Westminster, sebuah dokumen Calvinis yang berperan sebagai suatu ringkasan sistematis untuk Gereja Skotlandia dan Gereja Presbiterian di seluruh dunia, hanya mengakui 66 kitab dari kanon Protestan sebagai Kitab Suci yang otentik. Dalam Bab I Pasal III dari Pengakuan Iman tersebut tertulis: “Kitab-kitab yang umumnya disebut Apokrifa, yang bukan merupakan ilham ilahi, bukanlah bagian dari Kanon Alkitab, dan karenanya, tidak memiliki otoritas dalam Gereja Allah, dan juga tidak boleh disetujui, atau dimanfaatkan, selain sebagai tulisan manusia biasa.”

Posisi Yahudi
Yudaisme dan sebagian besar versi Alkitab Protestan tidak memasukkan kitab-kitab deuterokanonika ke dalamnya. Pada umumnya diyakini bahwa Yudaisme secara resmi mengeluarkan kitab-kitab deuterokanonika dan naskah-naskah tambahan berbahasa Yunani yang tercantum di artikel ini dari Kitab Suci mereka pada suatu konsili hipotetis di Yamnia (kr. 70–90 Masehi), tetapi pernyataan ini juga diperdebatkan.

Deuterokanonika Perjanjian Baru;

Istilah deuterokanonika kadang-kadang digunakan untuk menyebut ‘Antilegomena‘ yang kanonik; Antilegomena (Greek αντιλεγόμενα) adalah sebuah istilah yang merujuk kepada naskah-naskah tertulis yang keasliannya atau nilainya diperdebatkan.,–yakni kitab-kitab Perjanjian Baru, yang seperti kitab-kitab Deuterokanonika Perjanjian Lama, tetapi tidak diterima secara universal oleh Gereja perdana. Kitab-kitab ini disebut “Deuterokanonika Perjanjian Baru”, saat ini termasuk dalam ke-27 kitab Perjanjian Baru yang diakui oleh hampir semua umat Kristiani. Kitab-kitab Deuterokanonika Perjanjian Baru adalah sebagai berikut:

  • Surat kepada Orang Ibrani
  • Surat Petrus yang Kedua
  • Surat Yohanes yang Kedua
  • Surat Yohanes yang Ketiga
  • Surat Yakobus
  • Surat Yudas
  • Wahyu Kepada Yohanes

-sumber: Wikipedia.


Lainnya: