Sumber: Wikipedia;
Sejarah Agama di Indonesia
Berdasar sejarah, kelompok pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan budaya di dalam negeri dengan pendatang dari subbenua India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan budaya di Indonesia. Sampai awal era Masehi, orang-orang Nusantara (suku bangsa Austronesia serta bangsa Papua) mengikuti kepercayaan dan adat-istiadat kesukuan asli.
Agama Hindu dan Buddha;
Agama Hindu dan Buddha telah dibawa ke Indonesia sekitar abad ke-2 dan abad ke-4 Masehi ketika pedagang dari India datang ke Sumatra, Jawa dan Sulawesi dengan membawa agama mereka. Hindu mulai berkembang di pulau Jawa pada abad kelima Masehi dengan kasta Brahmana yang memuja Siva. Pedagang juga mengembangkan ajaran Buddha pada abad berikut lebih lanjut dan sejumlah ajaran Buddha dan Hindu telah memengaruhi kerajaan-kerajaan kaya, seperti Kutai, Sriwijaya, Majapahit dan Sailendra. Sebuah candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur, telah dibangun oleh Kerajaan Sailendra pada waktu yang sama, begitu pula dengan candi Hindu, Prambanan juga dibangun. Puncak kejayaan Hindu-Jawa, Kerajaan Majapahit, terjadi pada abad ke-14 M, yang juga menjadi zaman keemasan dalam sejarah Indonesia. Hinduisme memiliki pengaruh yang menentukan pada ideologi pemerintahan satu orang Raja.
Kong Hu Cu;
Ajaran falsafah ini diasaskan oleh Kong Hu Cu yang dilahirkan pada tahun 551 SM Chiang Tsai yang saat itu berusia 17 tahun. Seorang yang bijak sejak masih kecil dan terkenal dengan penyebaran ilmu-ilmu baru ketika berumur 32 tahun, Kong Hu Cu banyak menulis buku-buku moral, sejarah, kesusasteraan dan falsafah yang banyak diikuti oleh penganut ajaran ini. Ia meninggal dunia pada tahun 479 SM. Keberadaan umat beragama Khonghucu beserta lembaga-lembaga keagamaannya di Nusantara atau Indonesia ini sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, bersamaan dengan kedatangan perantau atau pedagang-pedagang Tionghoa ke tanah air kita ini. Orang Tionghoa telah datang ke nusantara, melakukan kontak sosial dalam perdagangan rempah-rempah dengan Sriwijaya, sejak abad ke-7 atau sebelumnya.-(sumber: Kompasiana, Yuniarto Hendy – Melihat Sekilas tentang Sejarah Agama Konghucu di Indonesia). Mengingat sejak zaman Sam Kok (三國時代) yang berlangsung sekitar abad ke-3 Masehi, Agama Khonghucu telah menjadi salah satu di antara Tiga Agama Besar di China waktu itu; lebih-lebih sejak zaman dinasti Han, atau tepatnya tahun 136 sebelum Masehi telah dijadikan Agama Negara di China. Konfusianisme sebagai agama dan filsafat. Konfusianisme muncul dalam bentuk agama di beberapa negara seperti Korea, Jepang, Taiwan, Hong Kong dan Tiongkok. Dalam bahasa Tionghoa, agama Khonghucu sering kali disebut sebagai Kongjiao (孔教) atau Rujiao (儒教). Kehadiran Agama Khonghucu di Indonesia telah berlangsung berabad-abad lamanya, Kelenteng Ban Hing Kiong (萬興宮) di Manado didirikan pada tahun 1819. Di Surabaya didirikan tempat ibadah Agama Khonghucu yang disebut mula-mula: Boen Tjhiang Soe (文昌祠), kemudian dipugar kembali dan disebut sebagai Boen Bio (文廟) pada tahun 1906. Sampai dengan sekarang Boen Bio yang terletak di Jalan Kapasan 131, Surabaya masih terpelihara dengan baik dibawah asuhan Majelis Agama Khonghucu (MAKIN) “Boen Bio” Surabaya. Di Sala didirikan Khong Kauw Hwee sebagai Lembaga Agama Khonghucu pada tahun 1918. Pada tahun 1923 telah diadakan Kongres pertama Khong Kauw Tjong Hwee 孔教會 (Lembaga Pusat Agama Khonghucu) di Yogyakarta dengan kesepakatan memilih kota Bandung sebagai Pusat. Pada tanggal 25 September 1924 di Bandung diadakan Kongres ke dua yang antara lain membahas tentang Tata Agama Khonghucu agar supaya seragam di seluruh kepulauan Nusantara. Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (disingkat MATAKIN) adalah sebuah organisasi yang mengatur perkembangan agama Khonghucu di Indonesia. Organisasi ini didirikan pada tahun 1955 setelah melalui proses yang panjang sejak akhir abad ke-19. Di zaman Orde Baru, pemerintahan Soeharto melarang segala bentuk aktivitas berbau kebudayaaan dan tradisi Tionghoa di Indonesia. Ini menyebabkan banyak pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa menjadi tidak berstatus sebagai pemeluk salah satu dari 5 agama yang diakui. Untuk menghindari permasalahan politis (dituduh sebagai atheis dan komunis), pemeluk kepercayaan tadi kemudian diharuskan untuk memeluk salah satu agama yang diakui, mayoritas menjadi pemeluk agama Buddha, Islam, Katolik, atau Kristen. Klenteng yang merupakan tempat ibadah kepercayaan tradisional Tionghoa juga terpaksa mengubah nama dan menaungkan diri menjadi wihara yang merupakan tempat ibadah agama Buddha. Agama Khonghucu pada zaman Orde Reformasi; Seusai Orde Baru, pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa mulai mendapatkan kembali pengakuan atas identitas mereka sejak masa kepemimpinan presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui UU No 1/Pn.Ps/1965 yang menyatakan bahwa agama-agama yang banyak pemeluknya di Indonesia antara lain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.
Kekristenan;
Gereja Asiria Timur beraliran Nestorianisme telah hadir di Nusantara di Sumatra Utara pada abad ke-7. Fakta ini ditegaskan kembali oleh Prof. Dr. Sucipto Wirjosuprapto. Fakta ini dapat dimengerti dengan penelitian dan rentetan berita dan kesaksian yang tersebar dalam jangka waktu dan tempat yang lebih luas. Berita tersebut dapat dibaca dalam sejarah kuno karangan seorang ahli sejarah Shaykh Abu Salih al-Armini yang menulis buku “Daftar berita-berita tentang Gereja-gereja dan pertapaan dari provinsi Mesir dan tanah-tanah di luarnya”. yang memuat berita tentang 707 gereja dan 181 pertapaan Serani yang tersebar di Mesir, Nubia, Abbessinia, Afrika Barat, Spanyol, Arabia, India dan Indonesia.
Kristen Katolik;
Menurut Abu Salih al-Armini, kota Barus yang dahulu disebut Pancur dan saat ini terletak di dalam Keuskupan Sibolga di Sumatra Utara adalah tempat kediaman umat Katolik tertua di Indonesia. Di Barus juga telah berdiri sebuah Gereja dengan nama Gereja Bunda Perawan Murni Maria (Gereja Katolik di Indonesia, seri 1, diterbitkan oleh KWI). Kristen Katolik dibawa masuk ke Indonesia oleh bangsa Portugis, khususnya di pulau Flores dan Timor.
- (Wikipedia – Sejarah Gereja Katolik Indonesia);
- (Wikipedia – Gereja Katolik Indonesia);
- Daftar Paroki di Keuskupan Agung Medan.
- (Historia.id – Menurut J. Bakker SJ, 1969, agama Katolik sudah ada pada abad ke-7 M dan berakar di Sumatra Utara lalu menyebar ke daerah lain, termasuk Jawa);
Islam;
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 melalui pedagang di Gujarat, India, sementara ilmuwan juga mempertahankan teori dari Arab dan Persia. Islam menyebar sampai pantai barat Sumatra dan kemudian berkembang ke timur pulau Jawa. Pada periode ini terdapat beberapa kerajaan Islam, yaitu kerajaan Demak, Pajang, Mataram dan Banten. Pada akhir abad ke-15 M, 20 kerajaan Islam telah dibentuk, mencerminkan dominasi Islam di Indonesia.
Kristen Protestan;
Pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada abad ke-16 M dengan pengaruh ajaran Calvinis dan Lutheran. Wilayah penganut animisme di wilayah Indonesia bagian Timur, dan bagian lain, merupakan tujuan utama orang-orang Belanda, termasuk Maluku, Nusa Tenggara, Papua dan Kalimantan. Kemudian, Kristen menyebar melalui pelabuhan pantai Borneo, kaum misionaris pun tiba di Toraja, Sulawesi. Wilayah Sumatra juga menjadi target para misionaris ketika itu, khususnya adalah orang-orang Batak, dimana banyak saat ini yang menjadi pemeluk Protestan.
Sumber: Historia.id;
Anggapan bahwa Kristen tiba bersama kedatangan orang-orang Eropa ke Nusantara tiba-tiba mendapat sangahan baru. Pada 1969, J. Bakker SJ menulis di majalah Basis bahwa agama Katolik sudah ada pada abad ke-7 M dan berakar di Sumatra Utara lalu menyebar ke daerah lain, termasuk Jawa. Dengan menggunakan sumber-sumber Islam, dia meyakini pula bahwa Katolik datang dari India Selatan.
Bermula dari Santo Thomas yang mewartakan Injil hingga ke India Selatan. Katolik berkembang di India Selatan dan lewat perdagangan menyebar ke Sumatra Utara. Gereja Kristen Katolik mulai ditanam di daerah Tapanuli sebelum tahun 600 oleh saudagar dari India yang menamakan diri Thomas Christians.
Jan Baker mendasarkan teorinya pada tulisan ilmuwan Islam bernama Shaykh Abu Salih al-Armini, yang menulis semacam buku ensiklopedi berjudul Tadhakkur fiha Akhbar min al-Kana’is wa’l-Adyar min Nawahin Misri w’al Iqtha’aihu berisi daftar gereja dan pertapaan di Mesir dan wilayah Timur lainnya. Dalam bukunya, Abu Salih menyebut di Fansur, tempat asal kamper, terdapat sekelompok Kristen Nestorian dan sebuah gereja yang dipersembahkan kepada Maria. Di antara sumber-sumbernya, Abu Salih menggunakan Kitab Nazm al-Jawhar karya Sa’id bin al Batriq yang berasal dari tahun 910 dan mengisahkan sejumlah peristiwa dari abad ke-7.
Menurut Bakker, ‘Fansur’ itu sama dengan ‘Pansur’, dekat Baros di Tapanuli. Dia juga menulis penyebutan Kristen Nestorian dari Abu Salih keliru dan “meluruskannya” sebagai Katolik.
AJ Butler MA FSA saat memberikan catatan terhadap terjemahan BTA Evetts atas karya Abu Salih ke dalam bahasa Inggris, berjudul The Churches and Monasteries of Egypt Attributed to Abu Sahlih, The Armenian, menjelaskan bahwa kata Fahsur memang tertulis dalam manuskrip aslinya. Namun, kata ini seharusnya ditulis Mansur, sebuah negara di zaman kuno yang terdapat di barat laut India, terletak di sekitar Sungai Indus. Mansur merupakan negara utama yang terkenal di antara orang-orang Arab dalam hal komoditas kamper.
Adolf Heuken SJ dalam tulisan “Christianity in Pre-Colonial Indonesia” juga mendukung pendapat Butler. “Kecuali catatan singkat yang diberikan Abu Salih, tak ada informasi lebih lanjut tentang Kristen di Fansur/Barus,” tulis Heuken, termuat di A History of Christianity in Indonesia karya Jan Sihar Aritonang dan Karel A. Steenbrink.
Di luar perdebatan itu, Barus sendiri merupakan tempat yang menarik untuk diteliti. Ia dianggap salah satu kota kuno yang terkenal di Asia sejak sekira abad ke-6. Pada 1995, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bekerjasama dengan Ecole francaise d’Extreme-Orient melakukan penelitian arkeologi untuk menggali situs Lobu Tua di Barus. Hasilnya, “pada zaman Lobu Tua, Barus muncul sebagai sebuah tempat perdagangan asing yang mungkin didirikan pada pertengahan abad ke-9 M oleh pedagang dari India Selatan atau Sri Lanka. Dalam waktu singkat, mereka didatangi pedagang-pedagang dari Timur Tengah, yang juga mencari kamper,” tulis Claude Guillot dkk. dalam Barus: Seribu Tahun yang Lalu, yang merupakan hasil penelitian itu.
Terkait kemungkinan adanya sekelompok masyarakat Nestorian di Barus, Claude Guillot dkk menyebutkan perlu bukti arkeologis setelah situs Barus yang mendahului Lobu Tua berhasil ditemukan. “Jika ternyata benar, maka didapatkan bukti bahwa satu jaringan yang sebagian beragama Nestorian menghubungkan Baru dengan Teluk Persia lewat Sri Lanka dan pantai Malabar, khususnya Quilon.”
Sumber: New Advent Catholic Encyclopedia-St.Thomas;
Tidak banyak yang dicatat tentang Santo Thomas Rasul, namun berkat Injil keempat, kepribadiannya lebih jelas bagi kita dibandingkan dengan beberapa orang lain dari Dua Belas. Namanya muncul dalam semua daftar Sinoptis (Matius 10:3; Markus 3:18; Lukas 6, Kis 1:13), tetapi di St. Yohanes ia memainkan peranan yang khas. Pertama, ketika Yesus mengumumkan niatnya untuk kembali ke Yudea untuk mengunjungi Lazarus, “Tomas” yang disebut Didymus [saudara kembar], berkata kepada teman-temannya, “Marilah kita juga pergi, supaya kita mati bersama dia” (Yohanes 11: 16). Lagi-lagi adalah St. Thomas yang selama khotbah sebelum Perjamuan Terakhir mengajukan keberatan: “Thomas berkata kepadanya: Tuhan, kami tidak tahu ke mana kamu pergi; dan bagaimana kami bisa mengetahui jalannya?” (Yohanes 14:5). Tetapi yang lebih khusus St Thomas diingatkan akan keraguannya ketika para rasul lainnya mengumumkan kebangkitan Kristus kepadanya: “Kecuali saya akan melihat di tangannya cetakan kuku, dan meletakkan jari saya di tempat paku, dan meletakkan tangan saya ke sisinya, aku tidak akan percaya” (Yohanes 20:25); tetapi delapan hari kemudian ia membuat tindakan imannya, menarik teguran dari Yesus: “Karena Engkau melihatku, Tomas, Engkau percaya; diberkatilah mereka yang belum melihat, dan percaya” (Yohanes 20:29).
Ini melelahkan semua pengetahuan tertentu kita tentang Rasul tetapi namanya adalah titik awal dari literatur apokrif yang cukup besar, dan ada juga data historis tertentu yang menunjukkan bahwa beberapa materi apokrip ini mungkin mengandung benih kebenaran. Dokumen utama mengenai dia adalah “Acta Thomae” (Acts of Thomas: Kisah Para Rasul Thomas adalah salah satu apokrifa Perjanjian Baru. Referensi ke karya Epiphanius dari Salamis menunjukkan bahwa itu beredar pada abad ke-4. Versi lengkap yang bertahan adalah bahasa Syria dan Yunani); disimpan kepada kita dengan beberapa variasi baik dalam bahasa Yunani dan bahasa Syria, dan membawa tanda-tanda yang tidak salah lagi tentang asal usul Gnostiknya. Mungkin memang itu adalah karya Bardesanes sendiri. (Bardesanes: seorang bangsawan, sastrawan, dan filsuf yang berkebangsaan Suriah dan tokoh besar dalam kekeristenan di Edessa). Kisah di banyak bagiannya benar-benar luar biasa, tetapi ini adalah tanggal awal, ditugaskan oleh Harnack (Chronologie, ii, 172) ke awal abad ketiga, sebelum 220 Masehi.
- Adolf von Harnack: teolog Jerman dan administrator ilmu pengetahuan, bukunya “Die Chronologie Der Altchristlichen Litteratur Bis Eusebius”, Vol. 2: Die Chronologie Der Litteratur Von Irenaeus Bis Eusebius (Classic Reprint) – German Edition. Pada 1886 Harnack dipanggil mengajar di Universitas Marburg; dan pada 1888, meskipun muncul tantangan yang sangat keras dari pimpinan gereja yang konservatif, ia diundang mengajar di Berlin. Pada 1890 ia menjadi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan. Di Berlin, meskipun agak bertentangan dengan keinginannya, ia terbawa masuk ke dalam pertikaian tentang Pengakuan Iman Rasuli.
Jika tempat asalnya benar-benar Edessa, seperti Harnack dan yang lainnya untuk alasan yang masuk akal (hlm. 176), ini akan memberikan kemungkinan yang cukup besar untuk pernyataan tersebut, secara eksplisit dibuat dalam “Acta” (Bonnet, cap. 170, hal. 286), “Richard Adelbert Lipsius, Maximilian Bonnet: Acta apostolorum apokryphaepars prior, Hermann Mendelsohn, Leipzig 1891“; bahwa peninggalan Rasul Thomas, yang kita tahu telah dihormati di Edessa, benar-benar datang dari Timur. Kemewahan legenda dapat dinilai dari fakta bahwa di lebih dari satu tempat (Bonnet, cap. 31, hlm. 148) itu melambangkan Thomas (Yudas Thomas, sebagaimana ia disebut di sini dan di tempat lain dalam tradisi Syria) sebagai saudara kembar Yesus. Tomas dalam bahasa Suryani setara dengan Didimos dalam bahasa Yunani, dan artinya kembar.
Rendel Harris (James Rendel Harris – Plymouth, Devon, 27 Januari 1852 – 1 Maret 1941) adalah seorang sarjana Alkitab Inggris dan kurator manuskrip, yang berperan penting dalam mengungkap banyak Kitab Suci Syriac dan dokumen awal lainnya); yang terlalu membesar-besarkan pemujaan Dioscuri, ingin menganggap ini sebagai transformasi penyembahan berhala Edessa, tetapi intinya paling problematis’. Kisah itu sendiri berjalan singkat sebagai berikut: Di divisi para Rasul, India jatuh ke tangan Thomas, tetapi ia menyatakan ketidakmampuannya untuk pergi, dimana Tuannya Yesus muncul dengan cara supernatural ke Abban, utusan Gundafor, seorang India raja, dan menjual Thomas kepadanya untuk menjadi budaknya dan melayani Gundafor sebagai tukang kayu. Kemudian Abban dan Thomas berlayar pergi sampai mereka tiba di Andrapolis, di mana mereka mendarat dan menghadiri pesta pernikahan putri penguasa. Kejadian-kejadian aneh diikuti dan Kristus di bawah rupa Thomas mendesak pengantin perempuan untuk tetap menjadi seorang Perawan. Datang ke India, Thomas berusaha membangun istana untuk Gundafor, tetapi membelanjakan uang yang dipercayakan kepadanya untuk orang miskin. Gundafor memenjarakannya; tetapi Rasul melarikan diri secara ajaib dan Gundafor bertobat. Pergi ke seluruh negeri untuk berkhotbah, Thomas bertemu dengan petualangan aneh dari naga dan keledai liar. Kemudian dia datang ke kota Raja Misdai (Syria Mazdai), di mana dia mempertobatkan Tertia dengan istri Misdai dan Vazan putranya. Setelah ini, ia dihukum mati, dibawa keluar kota ke bukit, dan ditusuk dengan tombak oleh empat prajurit. Dia dimakamkan di makam raja-raja kuno tetapi jenazahnya kemudian dipindahkan ke Barat.
Sekarang jelas merupakan fakta yang luar biasa bahwa sekitar tahun 46 M. seorang raja memerintah atas bagian Asia selatan Himalaya yang sekarang diwakili oleh Afghanistan, Baluchistan, Punjab, dan Sind, yang memakai nama Gondophernes atau Guduphara. Ini kita ketahui baik dari penemuan koin, beberapa dari jenis Parthia dengan legenda Yunani, yang lain dari jenis India dengan legenda dalam dialek India dalam karakter Kharoshthi. Meskipun ada banyak variasi kecil, identitas nama dengan Gundafor dari “Acta Thomae” tidak salah lagi dan sulit diperdebatkan. Selanjutnya kita memiliki bukti dari prasasti Takht-i-Bahi, yang bertanggal dan yang diterima oleh spesialis terbaik sebagai pendiri Raja Gunduphara mungkin mulai memerintah sekitar 20 M dan masih memerintah pada tahun 46. Lagi-lagi ada alasan bagus untuk percaya bahwa Misdai atau Mazdai mungkin merupakan transformasi nama Hindu yang dibuat di tanah Iran. Dalam hal ini mungkin akan mewakili Raja Vasudeva dari Mathura, penerus Kanishka. Tidak diragukan lagi dapat ditekankan bahwa romantisme Gnostik yang menulis “Acta Thomae” mungkin telah mengadopsi beberapa nama sejarah India untuk meminjamkan kebenaran pada pembuatannya, tetapi ketika Tuan Fleet mendesak dalam makalahnya yang sangat kritis (The Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, p. 235): “nama-nama yang diajukan di sini dihubungkan dengan St.Thomas jelas tidak seperti yang pernah hidup dalam cerita dan tradisi India”.
Di sisi lain, meskipun tradisi yang dikhotbahkan Santo Thomas di “India” tersebar luas di Timur dan Barat dan dapat ditemukan dalam penulis seperti Ephraem Syrus, Ambrose, Paulinus, Jerome, dan, kemudian Gregory of Tours dan yang lain, masih sulit untuk menemukan dukungan yang memadai untuk kepercayaan yang telah lama diterima bahwa St. Thomas mendorong perjalanan misinya ke selatan sejauh Mylapore, tidak jauh dari Madras, dan di sana menderita kemartiran. Di wilayah itu masih dapat ditemukan salib relief granit dengan tulisan Pahlavi (Persia kuno) yang berasal dari abad ketujuh, dan tradisi bahwa di sinilah St. Thomas meletakkan hidupnya secara lokal sangat kuat. Pasti juga bahwa di Malabar atau pantai barat India selatan masih ada tubuh orang Kristen yang menggunakan bentuk bahasa Suryani untuk bahasa liturgi. Apakah Gereja ini berasal dari zaman Rasul St Thomas (ada seorang uskup Siro-Kasdim John “dari India dan Persia” yang membantu di Konsili Nicea pada tahun 325) atau apakah Injil pertama kali diberitakan di sana pada tahun 345 karena penganiayaan Persia di bawah Shapur (atau Sapor), atau apakah misionaris Suriah yang menemani seorang Thomas Kana merambah ke pantai Malabar sekitar tahun 745 tampaknya sulit untuk ditentukan.
Kita hanya tahu bahwa pada abad keenam Cosmas Indicopleustes (seorang pedagang Yunani dan kemudian eremit dari Aleksandria, Mesir. Ia merupakan seorang penjelajah abad ke-6, yang membuat beberapa perjalanan ke India pada masa pemerintahan kaisar Yustinianus. Karyanya Topografi Kristen berisi beberapa peta dunia terawal dan terkenal). Topografi Kristen (bahasa Yunani Kuno: Χριστιανικὴ Τοπογραφία, bahasa Latin: Topographia Christiana) adalah sebuah karya abad ke-6, salah satu esay terawal dalam geografi saintifik yang ditulis oleh seorang pengarang Kristen. Karya tersebut awalnya ditulis sebagai lima buku karya Cosmas Indicopleustes dan diperluas menjadi sepuluh sampai dua belas buku sekitar tahun 5500 Masehi. — Cosmas merupakan murid dari Patriarkh Siria Timur Aba I dan ia sendiri adalah pengikut Gereja Timur); –Cosmas berbicara tentang keberadaan orang Kristen di Male (Malabar) di bawah seorang uskup yang telah ditahbiskan di Persia. Raja Alfred Agung mengatakan dalam “Sejarah Anglo-Saxon” telah mengirim sebuah ekspedisi untuk menjalin hubungan dengan orang-orang Kristen di Timur Jauh ini.
- Gereja Katolik Siro-Malabar (bahasa Aram: ܥܹܕܬܵܐ ܕܡܲܠܲܒܵܪ ܣܘܼܪܝܵܝܵܐ: Edtha d’Malabar Suryaya atau Gereja Suriah Malabar) adalah sebuah Gereja Episkopal Agung Utama dalam komuni penuh dengan Gereja Katolik. Gereja tersebut dikepalai oleh Uskup Agung Ytama Ernakulam-Angamaly, Kardinal Mar George Alencherry. Anggota-anggota Gereja tersebut dikenal sebagai Nasrani Mar Thoma atau Katolik Suriah. Gereja tersebut adalah denominasi Nasrani terbesar dengan sekitar 4.6 juta pengikut dan asal mulanya berasal dari aktivitas penginjilan Tomas pada abad ke-1. Gereja Siro-Malabar mengikuti liturgi Ritus Suriah Timur, yang secara tradisional diatributkan kepada santo Addai and Mari, yang berasal dari Edessa pada abad ke-3. Gereja tersebut adalah salah satu dari 22 sui iuris Gereja Katolik Timur dalam komuni Katolik. Gereja tersebut adalah Gereja Katolik Timur terbesar kedua, setelah Gereja Katolik-Yunani Ukraina. Gereja tersebut adalah salah satu dari dua Gereja Katolik Timur dari India, selain Gereja Katolik Siro-Malankara yang mengikuti liturgi Ritus Suriah Barat. Santa Alfonsa adalah santa pertama yang dikanonisasikan dari Gereja tersebut.
Di sisi lain peninggalan terkenal Santo Thomas sudah pasti ada di Edessa pada abad keempat, dan di sana, mereka tetap tinggal sampai mereka menterjemahkan ke Chios pada tahun 1258 dan ke Ortona. Saran yang mustahil bahwa Santo Thomas mengajar di Amerika (American Eccles. Rev., 1899, hlm. 1-18) ini didasarkan pada kesalahpahaman dari teks Kisah Para Rasul (1:8; bdk. Berchet “Fonte italiane per la storia della scoperta del Nuovo Mondo “, II, 236, dan I, 44).
- Menurut catatan bapa-bapa gereja, Tomas yang merupakan salah satu dari 12 rasul Tuhan melakukan penyebaran Injil ke wilayah timur, daerah Persia dan India, di luar perbatasan kekaisaran Romawi. Pada tanggal 27 September 2006, Paus Benedict XVI mengatakan bahwa “tradisi kuno menyebutkan bahwa Tomas mula-mula mengabarkan Injil di Suriah dan Persia (disinggung oleh Origenes, menurut Eusebius dari Kaisarea, Ecclesiastical History 3, 1) kemudian meneruskan ke India barat (menurut Acts of Thomas 1–2 dan 17ff.), dari sana pula ia akhirnya mencapai India selatan.”
Selain “Acta Thomae” di mana redaksi yang berbeda dan terutama lebih pendek ada dalam bahasa Ethiopia dan Latin, kami memiliki bentuk singkatan dari apa yang disebut “Injil Thomas” awalnya Gnostik (Gnostik mengklaim bahwa mereka memiliki pengetahuan yang lebih tinggi, bukan dari Alkitab, namun diperoleh melalui alam mistis lain yang lebih tinggi), seperti yang kita kenal sekarang hanyalah sejarah fantastik masa kanak-kanak Yesus, tanpa pewarnaan bidat. Ada juga “Revelatio Thomae”, yang dikutuk sebagai apocryphal dalam Dekrit Paus Gelasius, yang baru-baru ini ditemukan dari berbagai sumber dalam kondisi terpisah-pisah (lihat teks lengkap dalam Revue benedictine, 1911, hlm. 359-374). —The Revue Bénédictine adalah jurnal akademis dengan tinjauan sejawat dua tahunan yang diterbitkan sejak 1884 dari Maredsous Abbey oleh Ordo Santo Benediktus dan Brepols. Jurnal ini mencakup sejarah gereja dan tulisan gereja (dalam bahasa Inggris, Prancis, Italia, dan Jerman) serta teks-teks utama. Enam volume pertama diterbitkan dengan judul Le Messager des fidèles (1884–1889). Jurnal ini diabstraksi dan diindeks di Scopus.
- Decretum Gelasianum (bahasa Inggris: Gelasian Decree), atau Dekret Gelasius, dinamakan demikian karena secara tradisi dianggap sebagai Dekretal Paus Gelasius I, uskup Roma tahun 492–496, yang dikenal banyak menghasilkan karya. Decretum Gelasianum terdiri dari lima bagian;
- Bagian 2 merupakan suatu daftar kitab dalam Kitab Suci yang disajikan sebagai daftar yang telah dikanonkan oleh Konsili Roma di bawah kepemimpinan Paus Damasus I, uskup Roma tahun 366-383.
- Bagian 1, 3, dan 4 tidak relevan dengan kanon, sedangkan bagian 2 adalah suatu “katalog kanon”. Kitab-kitab Deuterokanonika termasuk dalam “katalog kanon”, dan masih ditemukan dalam Alkitab Katolik, kendati tidak termasuk dalam kanon Protestan. Katalog kanon ini menyajikan 27 kitab Perjanjian Baru. Dalam daftar kitab-kitab Injil, urutannya yaitu Injil Matius, Markus, Lukas, Yohanes. Keempat belas surat yang dikaitkan dengan Paulus mencakup Surat Filemon dan Ibrani. Surat-surat Umum ada tujuh: dua dari Petrus, satu dari Yakobus, satu dari Yohanes, dua dari “Yohanes lainnya, yang Tua”, dan satu dari “Yudas orang Zelot”.
- Bagian 5 merupakan katalog “kitab-kitab apokrif” dan tulisan-tulisan lain yang ditolak, disajikan sebagai “Daftar” yang diputuskan “Apokrif” oleh Paus Gelasius dan tujuh puluh uskup yang paling terpelajar”. Meskipun penetapan tersebut secara umum disepakati memang adalah apokrif, kecuali di antara para apolog yang paling tradisional, hal ini mungkin merupakan kiasan yang merujuk pada tujuh puluh penerjemah Septuaginta dan tujuh puluh murid yang diutus dalam Injil Lukas. Daftar ‘de libris recipiendis et non recipiendis’ yaitu (“kitab-kitab yang diterima dan tidak diterima”), yang kemungkinan berasal dari abad ke-6, yang merepresentasikan suatu tradisi, yang dapat ditelusuri kembali dari Paus Damasus I, dan mencerminkan praktik Gereja Roma dalam pengembangan kanon Alkitab. ‘Kitab-kitab apokrif’ dan ‘tulisan-tulisan lain yang ditolak’ meliputi karya-karya palsu dan lainnya; itu telah diputuskan oleh Paus Gelasius I sebagai Daftar “Apokrifa”. Tulisan-tulisan yang telah dinyatakan dan ditetapkan sebagai Daftar “Apokrifa” tersebut tidak sama dengan ‘Kitab-kitab Deuterokanonika’, karena kitab-kitab deuterokanonika adalah “kanon kedua“ dan dipisahkan dari kanon utama (protokanonika).-Lihat: Sejarah Alkitab Deuterokanonika.
Sumber-1: Wikipedia;
Sejarah Gereja Katolik di Indonesia
Sejarah Gereja Katolik di Indonesia berawal dari kedatangan bangsa Portugis ke kepulauan Maluku. Orang pertama yang menjadi Katolik adalah orang Maluku, Kolano (kepala kampung) Mamuya (sekarang di Maluku Utara) yang dibaptis bersama seluruh warga kampungnya pada tahun 1534 setelah menerima pemberitaan Injil dari Gonzalo Veloso, seorang saudagar Portugis. Ketika itu para pelaut Portugis baru saja menemukan kepulauan rempah-rempah itu dan bersamaan dengan para pedagang dan serdadu-serdadu, para imam Katolik juga datang untuk menyebarkan Injil. Salah satu pendatang di Indonesia itu adalah Santo Fransiskus Xaverius, yang pada tahun 1546 sampai 1547 datang mengunjungi pulau Ambon, Saparua dan Ternate. Ia juga membaptis beberapa ribu penduduk setempat.
Era VOC
Sejak kedatangan dan kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Indonesia tahun 1619 – 1799, dan akhirnya mengambil alih kekuasaan politik di Indonesia, Gereja Katolik dilarang secara mutlak dan hanya bertahan di beberapa wilayah yang tidak termasuk VOC yaitu Flores dan Timor.
Para penguasa VOC beragama Protestan, maka mereka mengusir imam-imam Katolik yang berkebangsaan Portugis dan menggantikan mereka dengan pendeta-pendeta Protestan dari Belanda. Banyak umat Katolik yang kemudian menjadi orang protestan saat itu, seperti yang terjadi dengan komunitas-komunitas Katolik di Amboina.
Imam-imam Katolik diancam hukuman mati, kalau ketahuan berkarya di wilayah kekuasaan VOC. Pada 1624, Pastor Egidius d’Abreu SJ dibunuh di Kastel Batavia pada zaman pemerintahan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, karena mengajar agama dan merayakan Misa Kudus di penjara.
Pastor A. de Rhodes, seorang Yesuit Prancis, pencipta huruf abjad Vietnam, dijatuhi hukuman berupa menyaksikan pembakaran salibnya dan alat-alat ibadat Katolik lainnya di bawah tiang gantungan, tempat dua orang pencuri baru saja digantung, lalu Pastor A. de Rhodes diusir (tahun 1646).
Yoanes Kaspas Kratx, seorang Austria, terpaksa meninggalkan Batavia karena usahanya dipersulit oleh pejabat-pejabat VOC, akibat bantuan yang ia berikan kepada beberapa imam Katolik yang singgah di pelabuhan Batavia. Ia pindah ke Makau, masuk Serikat Jesus dan meninggal sebagai seorang martir di Vietnam pada tahun 1737.
Pada akhir abad ke-18, Eropa Barat diliputi perang dahsyat antara Prancis dan Britania Raya bersama sekutunya masing-masing. Simpati orang Belanda terbagi, ada yang memihak Prancis dan sebagian lagi memihak Britania, sampai negeri Belanda kehilangan kedaulatannya. Pada tahun 1806, Napoleon Bonaparte mengangkat adiknya, Lodewijk atau Louis Napoleon, seorang Katolik, menjadi raja Belanda. Pada tahun 1799 VOC bangkrut dan dinyatakan bubar.
Era Hindia Belanda
Perubahan politik di Belanda, khususnya kenaikan tahta Raja Lodewijk, seorang Katolik, membawa pengaruh yang cukup positif. Kebebasan umat beragama mulai diakui pemerintah. Pada tanggal 8 Mei 1807, pimpinan Gereja Katolik di Roma mendapat persetujuan Raja Louis Napoleon untuk mendirikan Prefektur Apostolik Hindia Belanda di Batavia (lihat: Sejarah Gereja Katedral Jakarta).
Pada tanggal 4 April 1808, dua orang Imam dari Negeri Belanda tiba di Jakarta, yaitu Pastor Jacobus Nelissen, Pr dan Pastor Lambertus Prinsen, Pr. Yang diangkat menjadi Prefek Apostolik pertama adalah Pastor J. Nelissen, Pr.
Gubernur Jendral Daendels (1808-1811) berkuasa menggantikan VOC dengan pemerintah Hindia Belanda. Kebebasan beragama kemudian diberlakukan, walaupun agama Katolik saat itu agak dipersukar. Imam saat itu hanya 5 orang untuk memelihara umat sebanyak 9.000 orang yang hidup berjauhan satu sama lainnya. Akan tetapi pada tahun 1889, kondisi ini membaik, di mana ada 50 orang imam di Indonesia. Di daerah Yogyakarta, misi Katolik dilarang sampai tahun 1891.
- Betlehem van Java. Begitu sebutan yang melekat pada Muntilan, kecamatan yang berada 15 kilometer dari Kabupaten Magelang atau 25 kilometer dari Yogyakarta. Julukan tersebut beralasan. Betlehem identik dengan kota kelahiran Yesus Kristus, sekaligus kota untuk karya Yesus dalam membantu umatnya. Seperti halnya Betlehem, Muntilan menjadi pusat perkembangan agama Katolik di Jawa. Muntilan, yang dekat dari Yogyakarta, sudah dipilih sebagai pusat penyebaran Katolik sejak 1857. Bahkan tempat ini disebut sebagai pusat gereja pribumi. Di Muntilan, ribuan masyarakat dibabtis dan turut menjalankan misi kekatolikan. Gua Maria Sendangsono merupakan saksi kunci penyebaran agama Katolik yang masih kokoh berdiri.-sumber: Tempo.co – Jejak Katolik Museum Misi Muntilan, 11 Juni 2013.
Era Van Lith
Misi Katolik di daerah ini diawali oleh Pastor F. van Lith, SJ yang datang ke Muntilan pada tahun 1896. Pada awalnya usahanya tidak membuahkan hasil yang memuaskan, akan tetapi pada tahun 1904 tiba-tiba 4 orang kepala desa dari daerah Kalibawang datang ke rumah Romo dan mereka minta untuk diberi pelajaran agama. Sehingga pada tanggal 15 Desember 1904, rombongan pertama orang Jawa berjumlah 178 orang dibaptis di sebuah mata air Semagung yang terletak di antara dua batang pohon Sono. Tempat bersejarah ini sekarang menjadi tempat ziarah Sendangsono.
Romo van Lith juga mendirikan sekolah guru di Muntilan yaitu Normaalschool pada tahun 1900 dan Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru) pada tahun 1904. Pada tahun 1918 sekolah-sekolah Katolik dikumpulkan dalam satu yayasan, yaitu Yayasan Kanisius. Para imam dan Uskup pertama di Indonesia adalah bekas siswa Muntilan. Pada permulaan abad ke-20 gereja Katolik berkembang pesat.
Pada 1911 Van Lith mendirikan Seminari Menengah. Tiga dari enam calon generasi pertama dari tahun 1911-1914 ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1926 dan 1928, yaitu Romo F.X.Satiman, SJ, A. Djajasepoetra, SJ, dan Albertus Soegijapranata, SJ.
Era Perjuangan Kemerdekaan
Albertus Soegijapranata menjadi Uskup Indonesia yang pertama ditahbiskan pada tahun 1940.
Tanggal 20 Desember 1948 Romo Sandjaja terbunuh bersama Frater Hermanus Bouwens, SJ di dusun Kembaran dekat Muntilan, ketika penyerangan pasukan Belanda ke Semarang yang berlanjut ke Yogyakarta dalam Agresi Militer Belanda II. Romo Sandjaja dikenal sebagai martir pribumi dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia.
Mgr. Soegijapranata bersama Uskup Willekens SJ menghadapi penguasa pendudukan pemerintah Jepang dan berhasil mengusahakan agar Rumah Sakit St. Carolus dapat berjalan terus.
Banyak di antara pahlawan-pahlawan nasional yang beragama Katolik, seperti Adisucipto, Agustinus (1947), Ignatius Slamet Riyadi (1945) dan Yos Sudarso (1961).
Era Kemerdekaan (1945-sekarang)
Kardinal pertama di Indonesia adalah Yustinus Kardinal Darmojuwono diangkat pada tanggal 29 Juni 1967. Gereja Katolik Indonesia aktif dalam kehidupan Gereja Katolik dunia. Uskup Indonesia mengambil bagian dalam Konsili Vatikan II (1962-1965).
Paus Paulus VI berkunjung ke Indonesia pada 1970. Kemudian tahun 1989 Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Indonesia. Kota-kota yang dikunjunginya adalah Jakarta, Medan (Sumatera Utara), Yogyakarta (Jawa Tengah dan DIY), Maumere (Flores) dan Dili (Timor Timur).
Sumber-2: Wikipedia;
Gereja Katolik di Indonesia
Gereja Katolik di Indonesia adalah Gereja Katolik yang menggunakan ritus liturgi Latin (tepatnya Ritus Roma) di Indonesia, di mana Agama Kristen Katolik adalah salah satu dari agama-agama yang diakui oleh negara. Gereja Katolik di Indonesia dimulai dengan kedatangan bangsa Portugis dalam upaya mereka mencari kepulauan rempah-rempah pada abad ke-16.
Era Portugis
Pada awal abad ke-16 semangat petualangan menjelajah samudera dan mencari sumber rempah-rempah di kalangan bangsa Portugis yang beragama Katolik membawa mereka hingga ke Malaka. Kontak agama Katolik dengan bumi nusantara merembet dari pangkalan Portugis di Malaka ke pulau-pulau lain melalui pelabuhan-pelabuhan utama yang disinggahi kapal-kapal dagang Portugis, misalnya: Banda (1511), Ternate (1513), Sunda Kelapa (1522), Panarukan (1528). Di Indonesia, orang pertama yang menjadi Katolik adalah orang Maluku, Kolano (kepala kampung) Mamuya (di Halmahera, Maluku Utara) yang dibaptis seorang awam pedagang Portugis, Gonzalo Veloso, bersama sebagian besar warga kampungnya pada tahun 1534 setelah menerima pemberitaan Injil. Peristiwa itu menjadi titik tolak peringatan 450 tahun Gereja Katolik di Indonesia pada 1984. Ketika itu para pelaut Portugis baru saja menemukan kepulauan rempah-rempah itu dan bersamaan dengan para pedagang dan serdadu-serdadu, para imam Katolik juga datang untuk menyebarkan Injil. P. Simon Faz OFM membaptis lebih dari 5000 orang sekitar tahun 1534 di Halmahera. Salah seorang misionaris besar yang berkunjung di Indonesia adalah Santo Fransiskus Xaverius, salah seorang pendiri Serikat Yesus (SJ) yang antara tahun 1546 sampai 1547 meneguhkan iman umat Katolik di pulau Ambon, Saparua dan Ternate. Ia juga membaptis beberapa ribu penduduk setempat.
Era VOC
Kedatangan dan kekuatan militer Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Indonesia tahun 1619 – 1799 akhirnya merebut monopoli perdagangan rempah-rempah dari bangsa Portugis dan praktis menegakkan hegemoni politik di Indonesia, Gereja Katolik dilarang secara mutlak melakukan kegiatan misi dan hanya bertahan di beberapa wilayah yang tidak termasuk dalam lingkup pengaruh VOC yaitu Flores dan Timor.
Para penguasa VOC beragama Protestan, maka mereka mengusir imam-imam Katolik yang berkebangsaan Portugis dan menggantikan mereka dengan pendeta-pendeta Protestan dari Belanda. Banyak umat Katolik yang kemudian diprotestankan saat itu, seperti yang terjadi dengan komunitas-komunitas Katolik di Amboina.
Imam-imam Katolik diancam hukuman mati, kalau ketahuan berkarya di wilayah kekuasaan VOC. Pada 1624 Pastor Egidius d’Abreu SJ dibunuh di Kastel Batavia pada zaman pemerintahan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, karena mengajar agama dan merayakan Misa Kudus di penjara.
Pastor A. de Rhodes, seorang Yesuit Prancis, pencipta huruf abjad Vietnam, dijatuhi hukuman berupa menyaksikan pembakaran salibnya dan alat-alat ibadat Katolik lainnya di bawah tiang gantungan, tempat dua orang pencuri baru saja digantung, lalu Pastor A. de Rhodes diusir (1646).
Yoanes Kaspas Kratx, seorang Austria, terpaksa meninggalkan Batavia karena usahanya dipersulit oleh pejabat-pejabat VOC, akibat bantuan yang ia berikan kepada beberapa imam Katolik yang singgah di pelabuhan Batavia. Ia pindah ke Makau, masuk Serikat Jesus dan meninggal sebagai seorang martir di Vietnam pada 1737.
Pada akhir abad ke-18 Eropa Barat diliputi perang dahsyat antara Prancis dan Britania Raya bersama sekutunya masing-masing. Simpati orang Belanda terbagi, ada yang memihak Prancis dan sebagian lagi memihak Britania, sampai negeri Belanda kehilangan kedaulatannya. Pada tahun 1806, Napoleon Bonaparte mengangkat adiknya, Lodewijk atau Louis Napoleon, seorang Katolik, menjadi raja Belanda. Pada tahun 1799 VOC bangkrut dan dinyatakan bubar. Utang-utang dan hak-hak VOC diambil alih oleh Kerajaan Belanda.
Era Hindia Belanda
Perubahan politik di Belanda, khususnya kenaikan tahta Raja Louis, seorang Katolik, kerabat Napoleon Bonaparte, membawa pengaruh yang cukup positif. Semangat Revolusi Prancis “liberte, egalite, fraternite” (kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan) merembes ke kalangan pemerintahan Belanda. Kebebasan umat beragama mulai diakui pemerintah. Hal itu terbawa ke bumi nusantara yang kemudian disebut Hindia Belanda. Pada tanggal 8 Mei 1807, Paus Pius VII, pimpinan Gereja Katolik Roma mendapat persetujuan Raja Louis Napoleon untuk mengaktifkan kembali karya misi di Hindia Belanda dan mendirikan Prefektur Apostolik Hindia Belanda di Batavia pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Daendels (1808-18110).
Pada tanggal 4 April 1808, dua orang Imam dari Negeri Belanda tiba di Jakarta, yaitu Pastor Jacobus Nelissen, Pr dan Pastor Lambertus Prisen, Pr. Yang diangkat menjadi Prefek Apostolik pertama adalah Pastor J. Nelissen, Pr.
Setelah Gubernur Jendral Daendels (1808-1811) walaupun kebebasan beragama kemudian diberlakukan, namun agama Katolik saat itu agak dipersukar. Hal itu karena pergantian kekuasaan di Belanda setelah kekalahan Napoleon pada 1815, yang mengangkat Willem I menjadi raja Belanda. Selain itu misi di Hindia Belanda kekurangan tenaga. Imam saat itu hanya 5 orang untuk memelihara umat sebanyak 9.000 orang yang hidup berjauhan satu sama lainnya. Dengan kerja keras, Prefektur Apostolik Batavia dinaikkan statusnya menjadi Vikariat Apostolik pada 20 September 1842. Situasi berangsur-angsur membaik setelah perundingan berangsur-angsur dengan pihak pemerintah pada tahun 1847. Pada tahun 1889 ada 50 orang imam di Indonesia sejak misi di Hindia Belanda diserahkan kepada Serikat Yesus (SY). Di daerah Yogyakarta, misi Katolik dilarang sampai tahun 1891.
Persekolahan Van Lith dan Pembagian Kerja Ordo-ordo Misionaris
Misi Katolik di daerah ini diawali oleh Pastor F. van Lith, SJ yang datang ke Muntilan pada tahun 1896. Pada awalnya usahanya tidak membuahkan hasil yang memuaskan, akan tetapi pada tahun 1904 tiba-tiba 4 orang kepala desa dari daerah Kalibawang datang ke rumah Romo dan mereka minta untuk diberi pelajaran agama. Sehingga pada tanggal 15 Desember 1904, rombongan pertama orang Jawa berjumlah 178 orang dibaptis di sebuah mata air Semagung yang terletak di antara dua batang pohon Sono. Tempat bersejarah ini sekarang menjadi tempat ziarah Sendangsono.
Romo van Lith juga mendirikan sekolah guru di Muntilan yaitu Normaalschool pada tahun 1900 dan Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru) pada tahun 1904. Pada tahun 1918 sekolah-sekolah Katolik dikumpulkan dalam satu yayasan, yaitu Yayasan Kanisius. Para imam dan Uskup pertama di Indonesia adalah bekas siswa Muntilan.
Pada permulaan abad ke-20 gereja Katolik berkembang pesat. Berawal babak baru dengan pembagian kerja di antara Ordo-ordo misionaris. Setiap ordo mendatangkan tenaga misionarisnya. Paus Leo XIII mendirikan Prefektur Apostolik baru di Maluku dan sekitarnya, dan menyerahkan pembinaannya kepada imam-imam Misionaris Hati Kudus (MSC) pada 22 Desember 1902. Tiga tahun kemudian, pada 1905 Paus Pius X membentuk Prefektur Apostolik Kalimantan dan pelayanannya diserahkan kepada Ordo Fransiskan Kapusin (OFMCap). Sumatera menyusul menjadi Prefektur Apostolik pada tahun 1911 dan diserahkan kepada Ordo Kapusin juga. Prefektur Apostolik Kepulauan Sunda Kecil didirikan pada 1913 dan diserahkan kepada Serikat Sabda Allah (SVD). Prefektur Apostolik Celebes berdiri pada tahun 1919 dan diserahkan kepada MSC.
Selanjutnya di Jawa sendiri perkembangan besar terjadi dengan pembagian tugas baru. Pada 1923 imam-imam Ordo Karmel (O.Carm) diberi tugas membina daerah misi Malang, Suatu Prefektur Apostolik didirikan pada tahun 1927 di Malang. Surabaya diserahkan kepada imam-imam Lazaris (C.M.) pada tahun 1923 dan berkembang menjadi Prefektur Apostolik pada 1928. Imam-imam MSC juga mengembangkan Purwokerto di Jawa Tengah, dan suatu Prefektur Apostolik didirikan di Purwokerto pada tahun 1932. Bersamaan dengan itu Bandung menjadi Prefektur Apostolik setelah diserahkan dan dibina oleh Ordo Salib Suci (OSC). Semarang dijadikan Vikariat Apostolik pada tahun 1940.
Pada 1911 Van Lith mendirikan Seminari Menengah. Tiga dari enam calon generasi pertama dari tahun 1911-1914 ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1926 dan 1928, yaitu Romo F.X.Satiman, SJ, A. Djajasepoetra, SJ, dan Alb. Soegijapranata, SJ.
Era Perjuangan Kemerdekaan
Para pemimpin kawasan misi, yaitu para waligereja, yang telah berbagi tugas berhubungan dengan baik satu sama lain, dengan diketuai oleh Vikaris Apostolik Batavia (Jakarta). Mereka berkumpul dan mengadakan sidang Waligereja yang pertama pada 1924 di Jakarta. Mereka membagi-bagi tenaga guru 10 orang ke Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Sumatra. Seminari di Jawa akan menerima siswa dari mana saja, tetapi disepakati untuk mendirikan satu seminari baru di Flores. Disepakati untuk menyusun Katekismus Hindia Belanda guna pengajaran agama di sekolah-sekolah.
Sidang Waligereja kedua juga diadakan di Jakarta pada tahun 1925. Disetujui pendirian berbagai surat kabar berbahasa Melayu dan daerah. Sidang ketiga dilaksanakan di Muntilan, Jawa Tengah. Disetujui untuk mendirikan Kantor Pusat Misi di Jakarta, dan dibahas rencana Undang-undang perkawinan sipil untuk umat Kristen. Sidang keempat diselenggarakan di Girisonta, Ungaran, Jawa tengah pada 1934. Dianjurkan penggunaan nama Indonesia menggantikan Hindia Belanda. Sidang kelima juga berlangsung di Girisonta pada tahun 1939 menegaskan kesatuan tindakan para Waligereja. Semua sidang itu menjadi cikal bakal kegiatan Majelis Agung Waligereja Indonesia yang kemudian berganti nama menjadi Konferensi Waligereja Indonesia atau KWI.
Seminari Tinggi Yogyakarta didirikan pada tahun 1939. Albertus Soegijapranata menjadi Vikaris Apostolik (Uskup di tanah misi) Indonesia yang pertama, ditahbiskan pada tahun 1940 untuk Vikariat Apostolik Semarang.
Pada tahun 1942 Jepang menyerbu dan menguasai Indonesia sampai tahun 1945. Tenaga imam, burder, suster yang berkebangsaan Belanda ditangkap dan ditahan. Gereja dilayani oleh tenaga-tenaga pribumi yang jumlahnya sangat terbatas. Gereja Katolik tetap bertahan sebagai Gereja dalam diaspora.
Mgr. Soegijapranata (Semarang) bersama Uskup Petrus Johannes Willekens SJ (Jakarta) menghadap penguasa pendudukan pemerintah Jepang dan berhasil mengusahakan agar Rumah Sakit St. Carolus Jakarta dapat berjalan terus.
Banyak di antara pahlawan-pahlawan nasional yang beragama Katolik, seperti Adisucipto, Agustinus (1947), dan Ignatius Slamet Riyadi (1945).
Indonesia menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tak lama setelah Jepang menyerah kepada Sekutu. Hal itu tidak disetujui Belanda yang berusaha keras untuk kembali menguasai bumi Nusantara. Terjadilah konflik mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda (dan Sekutu). Para misionaris berkebangsaan Belanda dibebaskan dan boleh bekerja kembali.
Tanggal 20 Desember 1948 Romo Sandjaja terbunuh bersama Frater Hermanus Bouwens, SJ di dusun Kembaran dekat Muntilan, ketika penyerangan pasukan Belanda ke Semarang yang berlanjut ke Yogyakarta dalam Agresi Militer Belanda II. Romo Sandjaja dikenal sebagai martir pribumi dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia.
Era Demokrasi Terpimpin
Setelah mundurnya kekuatan Belanda dari Indonesia pada 1949, umat Katolik yang berpartisipasi sejak awal dalam mengawal kemerdekaan Indonesia menyelenggarakan Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) pada bulan Desember di Jogjakarta. Pertemuan ini bagaikan prototip Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) sekarang. Diputuskan untuk melebur partai-partai umat Katolik yang bersifat kedaerahan menjadi satu Partai Katolik yang bersifat nasional. Niat itu terlaksana di Semarang pada tahun 1950. Partai Katolik mengikuti Pemilihan Umum 1955 untuk DPR dan Konstituante dengan perolehan kursi yang melebihi kuota umat Katolik. itu berarti partai ini mendapat kepercayaan besar rakyat Indonesia, bukan hanya umat Katolik.
Pada tahun 1953 Pater Djajasepoetra SJ diangkat menjadi Vikaris Apostolik Jakarta, menggantikan Mgr Willekens SJ. Ia adalah uskup bumiputera yang kedua di Indonesia.
Hubungan dengan Pemerintah Indonesia pada mulanya berjalan baik. Tetapi ketika pengaruh komunisme semakin besar (dengan semangat materialisme dan ateismenya yang ditentang oleh Paus Leo XIII sejak Ensiklik Rerum Novarum, 1891) umat Katolik agak renggang dengan Pemerintah. Dengan tegas Mgr Soegijopranoto menyatakan kepada Presiden Soekarno bahwa “umat Katolik akan bekerja sama dengan Pemerintah asalkan kebebasan beragama dijamin dan rakyat Indonesia dipimpin terlepas dari materialisme dan sikap ateis.”
Para Waligereja melakukan sidang pada tahun 1955 di Surabaya dan secara resmi menggunakan nama MAWI (Majelis Agung Waligereja Indonesia). Dalam sidang ditekankan agar semua pemimpin umat Katolik menyesuaikan diri dengan cita rasa kebangsaan Indonesia di segala bidang, mulai dari bidang pendidikan.
Sidang selanjutnya pada tahun 1960 di Girisonta membahas kemungkinan pendirian hierarki mandiri Gereja Katolik di Indonesia. Menanggapi harapan sidang ini, pada 3 Januari 1961 Paus Yohanes XXIII dengan konstitusi apostolik Quod Christus mendirikan hierarki Gereja katolik di Indonesia. Ini berarti Indonesia bukan tanah misi lagi, tetapi Gereja muda. Semua Prefektur Apostolik dan Vikariat Apostolik ditingkatkan menjadi Keuskupan, dipimpin Uskup masing-masing. Keuskupan-keuskupan yang berdekatan dihimpun menjadi suatu Provinsi Gerejani, dan salah satu Keuskupan ditunjuk menjadi metropolit pusat himpunan sebagai Keuskupan Agung. Ada 6 Keuskupan Agung dan 20 Keuskupan yang disebut Keuskupan Sufragan.
Selanjutnya para Uskup Indonesia mengikuti Konsili Vatikan II di Vatikan yang berlangsung 1962-1965, dengan hati was-was karena situasi dalam negeri Indonesia yang semakin panas bergolak, penuh dengan pemberontakan. Pemerintahan menjurus kepada pemerintahan diktator. Presiden Soekarno tumbang pada tahun 1965 setelah kegagalan pemberontakan komunis. Mulailah periode Orde Baru di Indonesia. Gereja pun mengalami banyak pembaruan karena keputusan-keputusan Konsili Vatikan II. Bahasa Indonesia digunakan dalam liturgi menggantikan bahasa Latin. Umat awam diberi kesempatan berperan serta di berbagai hal dalam kegiatan pastoral Gereja.
Kardinal pertama di Indonesia adalah Yustinus Kardinal Darmojuwono diangkat pada tanggal 29 Juni 1967. Gereja Katolik Indonesia aktif dalam kehidupan Gereja Katolik dunia.
Era Orde Baru
Banyak korban jiwa pada masa epilog pasca pemberontakan yang gagal dari Partai Komunis Indonesia pada 1965. Gereja Katolik dengan kerja keras berusaha mengerem kekejaman yang terjadi di mana-mana. Dengan semangat kasih ditegaskan bahwa yang harus dimusuhi adalah ideologi yang jahat, bukan orangnya. Sambil mengobati luka-luka batin umat Katolik didorong untuk ikut aktif dalam proses pembangunan masyarakat dan negara dari situasi yang porak poranda. Kegagalan panen di mana-mana menyebabkan wabah kelaparan dan penyakit berjangkit. Gereja mengulurkan tangan dengan membagikan sumbangan pangan dan obat-obatan dari sesama umat Katolik luar negeri. Inflasi yang melejit tinggi nyaris melumpuhkan perekonomian. Gereja ikut serta mengembangkan koperasi dan menggalakkan semangat menabung.
Ungkapan kasih dan perhatian umat Katolik itu mendapat tanggapan positif dari rakyat kebanyakan. Banyak orang belajar agama Katolik dan memberikan diri dibaptis. Jumlah umat menjadi berlipat ganda. Gereja Katolik serta agama-agama lain mengalami pertumbuhan yang sangat besar terutama di daerah yang dihuni oleh sejumlah besar suku Tionghoa dan etnis Jawa. Peningkatan dramatis jumlah umat Katolik pada khususnya dan orang Kristen pada umumnya telah menyebabkan permusuhan dan tuduhan ‘Pengkristenan’.
Sejak tahun 1970 MAWI berusaha bersidang setahun sekali. Setiap kali sidang MAWI mengangkat satu hal yang menjadi keprihatinan bersama. Dokumen sidang disebarluaskan kepada umat. Selain itu para Uskup Waligereja Indonesia juga aktif mengikuti persidangan umum Federasi Konferensi Uskup Asia (FABC) sejak lembaga itu didirikan pada tahun 1970 di Taipei.
Suatu tantangan muncul pada awal 1970-an ketika pemerintah tidak lagi memberi izin masuk dan menetap di Indonesia kepada misionaris asing. Bahkan Departemen Agama tidak mau memberi rekomendasi perpanjangan visa pada misionaris yang sudah lama bekerja dan tinggal di Indonesia. Namun masalah ini justru merupakan “blessing in disguise”, berkat terselubung, karena Gereja Katolik Indonesia kemudian berusaha keras untuk mencukupi kebutuhan imam dan relatif berhasil.
Bayangan kemiskinan, ledakan jumlah penduduk dan semakin beratnya kehidupan ekonomis merupakan tantangan tersendiri bagi keluarga-keluarga muda berhadapan dengan moralitas. Program Keluarga Berencana yang dicanangkan pemerintah untuk mengatasi persoalan itu diminati banyak umat Katolik. Tetapi cara-cara pencegahan kehamilan yang ditawarkan relatif berseberangan dengan ensiklik Humanae Vitae (1968). Sikap pastoral para Waligereja dalam hal ini menyerahkan keputusan kepada hati nurani umat (1972). Ini menyebabkan gesekan dengan Vatikan.
Kemajuan diperoleh dalam kerjasama ekumenis penerjemahan dan penerbitan Kitab Suci dalam bahasa Indonesia. Sejak tahun 1974 diterbitkan Kitab Suci edisi ekumenis dengan pembedaan. Kitab Suci untuk umat Katolik dilengkapi dengan Deuterokanonika.
Undang-undang Perkawinan 1974 yang mengganti tata-cara lama justru meruwetkan situasi. Sekalipun demikian kerukunan antar umat beragama relatif meningkat pada level menengah ke atas, sekalipun ada masalah sehubungan dengan beberapa surat keputusan Menteri Agama (No. 70/1978 tentang penyiaran agama dan No.77/ 1978 tentang bantuan luar negeri) yang praktis menjadi penghalang kemajuan umat Katolik dan meresahkan sehingga perlu ditenangkan dengan Surat Keputusan Bersama dua menteri (No 1/1979) yang merupakan aturan pelaksanaan dari kedua keputusan yang terdahulu, dengan pernyataan bahwa pemerintah tidak bermaksud mengurangi hak dan kemerdekaan seseorang untuk memeluk/menganut agama dan melakukan ibadat menurut agamanya itu.
Pedoman pastoral “Umat Katolik dalam Masyarakat Pancasila” (1985) merupakan petunjuk MAWI kepada umat Katolik Indonesia dalam menyikapi persoalan pembangunan dan pluralitas di Indonesia sebagai warga negara yang baik dan mengusahaan kesejahteraan umum.
Pada tahun 1985 semua uskup di Indonesia adalah putra-putra Indonesia.
Dalam Sidang Waligereja tahun 1986 nama MAWI yang telah digunakan sejak tahun 1955 diganti menjadi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Statuta KWI menyatakan bahwa KWI adalah wujud kolegialitas uskup dan bertujuan memadukan kebijakan pelaksanaan tugas dan karya penggembalaan para uskup agar seirama dan berkesinambungan di seluruh Indonesia (lih Pembukaan Statuta KWI par. 2-4).
Pada tahun 1989 Paus Yohanes Paulus II berkunjung ke Indonesia dan disambut dengan antusias oleh umat Katolik Indonesia.
Era Reformasi
Pada tahun 1990-an dan mulai tahun 2000 juga ditandai dengan kekerasan terhadap umat Katolik pada khususnya dan Kristen pada umumnya. Namun mantan presiden Abdurrahman Wahid, yang juga seorang pemimpin Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, telah memberikan kontribusi oleh beberapa penyatuan bagian-bagian yang berbeda dari beberapa kalangan.