Diakonat adalah salah satu dari tiga jabatan imamat dalam Gereja-Gereja Katolik, Anglikan, Ortodoks Timur, dan Ortodoks Oriental. Dua jabatan imamat lainnya adalah imam dan uskup.
Meski diakonat permanen ada sejak awal zaman apostolik sampai sekarang dalam Gereja-Gereja Timur (Ortodoks dan Katolik), jabatan ini umumnya menghilang dalam Gereja Barat (dengan sedikit perkecualian) selama milenium pertama. Diakonat melemah menjadi suatu jenjang sementara, batu loncatan terakhir dalam tahap menuju pentahbisan sebagai imam. Pada abad ke-20, diakonat permanen dipulihkan dalam banyak Gereja Barat, teristimewa dalam Gereja Katolik Roma dan Persekutuan Anglikan.
Dalam Gereja Katolik, Anglikan, dan Ortodoks, diakon membantu imam dalam tugas-tugas penggembalaan umat dan administrasi, namun bertanggung jawab secara langsung kepada uskup. Mereka memiliki peran khusus dalam liturgi, tugas utama mereka dalah membacakan Injil dan membantu dalam penyelenggaraan Ekaristi.
DIAKEN:
Diaken atau Diakon (bahasa Yunani: διάκονος, diakonos; bahasa Latin: diaconus) adalah anggota diakonat, yakni jawatan pelayanan dalam Gereja. Wujud pelayanan diakon berbeda-beda menurut masing-masing aliran teologi dan denominasi yang ada dalam agama Kristen. Dalam beberapa aliran, diakonat adalah jawatan rohaniwan (dengan tahbisan); sementara dalam aliran lain, diakonat adalah jawatan awam (tanpa tahbisan). Di beberapa Gereja, misalnya Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur, dan gereja Anglikan, diakonat dipandang sebagai bagian dari kaum rohaniwan.
Kata “diakon” berasal dari kata διάκονος (diákonos), yakni kata baku dalam bahasa Yunani Kuno yang berarti “pelayan”, “penunggu”, “pemangku”, atau “pewarta”. Menurut salah satu dugaan yang lazim dikemukakan sehubungan dengan etimologi kata “diakon”, arti harfiah dari kata ini adalah “terobos debu”, mengacu pada kepulan debu yang ditimbulkan oleh kesibukan pelayan atau pewarta tatkala menunaikan tugasnya.
Menurut anggapan umum, jabatan diakon bermula dari pemilihan tujuh orang pria, termasuk Stefanus, oleh para rasul untuk membantu mereka mengurusi karya amal Gereja perdana, sebagaimana yang diriwayatkan dalam bab 6 Kisah Para Rasul.
Gelar “diakonis” (bahasa Yunani: διακόνισσα, diakónissa, diakon perempuan) tidak ada di dalam Alkitab, namun ada seorang perempuan bernama Febe, yang disebut-sebut dalam Surat Paulus kepada Jemaat di Roma 16:1–2 sebagai seorang diakon (bahasa Yunani: διάκονος, diákonos) dari Gereja di Kengkrea. Tidak ada keterangan yang terperinci mengenai tugas dan wewenangnya, namun diduga Febe adalah pembawa surat yang ditulis Paulus kepada umat Kristen di Roma. Hubungan yang pasti antara diakon laki-laki dan diakon perempuan berbeda-beda. Dalam beberapa aliran, diakon perempuan tergolong dalam jajaran para diakon; sementara dalam aliran lain, para diakonis membentuk jawatan tersendiri. Dalam beberapa aliran, kata “diakonis” kadang-kadang pula digunakan sebagai sebutan bagi istri seorang diakon.
Para diakon perempuan disebut-sebut dalam sepucuk surat bertarikh ca. 112 Masehi dari Plinius Muda kepada Kaisar Trayanus.
- “Aku yakin bahwa dua orang hamba perempuan (ex duabus ancillis) yang disebut para diakon (ministrae) itu perlu diperiksa guna mengetahui kebenaran—dan diperiksa dengan cara disiksa (per tormenta)”.
Surat ini adalah teks Latin tertua yang menyebut-nyebut tentang para diakon perempuan sebagai suatu golongan tersendiri dalam jajaran rohaniwan Kristen.
Ayat-ayat Alkitab yang memperinci syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang diakon, dan seisi rumahnya, terdapat dalam 1 Timotius 3:1–13.
Beberapa diakon ternama dalam sejarah adalah Stefanus, martir perdana (protomartir) agama Kristen; Filipus, yang membaptis sida-sida Ethiopia sebagaimana yang diriwayatkan dalam Kisah Para Rasul 8:26–40; Febe, yang disebut-sebut dalam surat Paulus kepada umat Kristen di Roma; Santo Laurensius, salah seorang martir perdana di Roma; Santo Vinsensius dari Saragosa, martir perdana di Spanyol; Santo Fransiskus dari Asisi, pendiri tarekat fakir Fransiskan; Santo Efrem Orang Suriah; dan Santo Romanus Melodus, seorang penggubah madah perdana. Beberapa tokoh penting yang sudah menonjol dalam sejarah semenjak masih menjabat sebagai diakon dan di kemudian hari menduduki jabatan yang lebih tinggi adalah Atanasius dari Aleksandria, Thomas Becket, dan Reginald Pole. Pada 8 Juni 536 Masehi, seorang diakon Roma yang bernama Silverius terpilih menjadi Paus.
- Kata “diakon” juga digunakan sebagai gelar bagi presiden, ketua, atau kepala gilda wirausaha di Skotlandia; dan digunakan pula sebagai gelar bagi dua orang pejabat loji Mason.
Di Indonesia, istilah “diakon” digunakan oleh Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks, sementara gereja-gereja Protestan menggunakan istilah “syamas” (dari bahasa Arab: شماس, syamas) dan istilah “diaken” (dari bahasa Belanda: diaken); selain itu, Lembaga Alkitab Indonesia juga menggunakan istilah “diaken” sebagai padanan bagi kata Yunani diakonos (διάκονος) dalam menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru dari bahasa Yunani Koine ke dalam bahasa Indonesia.
—
Sebelum Konsili Vatikan II, hanya para seminaris (mahasiswa seminari) yang ditahbiskan menjadi diakon. Mereka menjadi diakon hanya beberapa bulan sebelum akhirnya ditahbiskan menjadi imam. Sejalan dengan rekomendasi dari konsili (dalam Lumen Gentium 29), pada tahun 1967 Paus Paulus VI mengeluarkan motu proprio (keputusan pribadi) Sacrum Diaconatus Ordinem, memulihkan praktik kuno untuk mentahbiskan menjadi diakon para pria yang bukan calon imam. Para pria tersebut dikenal sebagai para diakon permanen; orang-orang yang ditahbiskan menjadi diakon dan berniat melanjutkan menjadi imam, atau sementara dalam proses belajar di seminari untuk ditahbiskan menjadi imam, disebut para diakon transisi. Diakonat permanen populer di Amerika Serikat. Rincian mengenai diakonat permanen tercantum dalam dokumen tahun 2005 dari Konferensi Waligereja Amerika Serikat (United States Conference of Catholic Bishops), “National Directory for the Formation, Ministry and Life of Permanent Deacons in the United States.”
Pelayanan sebagai diakon dalam Gereja Katolik digambarkan sebagai suatu kesatuan pelayanan dalam tiga bidang: Sabda, Altar dan Amal. Pelayanan diakon dalam bidang Sabda mencakup membacakan Injil dalam Misa, berkhotbah dan mengajar. Dalam bidang Altar meliputi berbagai tugas khusus bagi diakon dalam Misa, termasuk menjadi pelayan cawan Ekaristi (menerimakan anggur Ekaristi kepada umat saat komuni). Dalam bidang Amal meliputi pelayanan bagi kaum miskin dan kaum yang termarjinalkan serta bekerja sama dengan umat paroki guna membantu mereka untuk semakin terlibat dalam pelayanan serupa.
Diakon dapat melayankan Sakramen Pembaptisan dan bertindak selaku saksi dari pihak Gereja dalam Sakramen Pernikahan, karena Sakramen Pernikahan (dalam tradisi Gereja Ritus Barat) dilayankan oleh mempelai pria kepada mempelai wanita dan sebaliknya. Diakon dapat memimpin upacara pemakaman, liturgi harian, berbagai pelayanan seperti Pemberkatan Sakramen Maha Kudus dan boleh memberi berkat. Diakon tidak dapat memberikan absolusi (pengampunan dosa), mengurapi orang sakit, ataupun mempersembahkan Doa Syukur Agung. Dalam liturgi, peranan diakon adalah membacakan Injil (dalam kenyataannya, seorang imam, uskup, atau Paus sekalipun tidak boleh membacakan Injil apabila hadir seorang diakon) dan membagikan Komuni Suci. Baik diakon transisi maupun permanen berwenang memberikan homili (khotbah) sesuai dengan hak yang diterima dari tahbisannya kecuali bila imam memutuskan untuk menyampaikan sendiri homili dalam liturgi tertentu.
Vestimentum yang khusus diasosiasikan dengan diakon Katolik Roma adalah dalmatik. Diakon, sebagaimana imam dan uskup, mengenakan stola; akan tetapi, diakon menyampirkannya pada bahu kiri lalu menyilangkannya ke pinggul kanan, sedangkan imam dan uskup menggantungkannya pada leher.
Para diakon permanen kerap melayani di paroki atau melaksanakan pelayanan lain jika waktunya memungkinkan, karena biasanya mereka memiliki pekerjaan full-time lain. Mereka dapat pula menjadi administrator paroki. Seiring berlalunya waktu, makin banyak diakon yang melayani sepenuh waktu di paroki-paroki, rumah-rumah sakit, penjara-penjara, dan kantor keuskupan. Diakon sering terjun langsung dalam pelayanan bagi kaum termarjinal baik di dalam maupun di luar Gereja: orang-orang miskin, orang-orang sakit, orang-orang yang kelaparan, dan orang-orang dalam penjara.
Orang-orang yang sudah menikah dapat ditahbiskan menjadi diakon permanen; akan tetapi, pernikahan setelah tahbisan tidak diizinkan. Meskipun demikian, dalam kondisi-kondisi tertentu, para diakon permanen yang telah menduda dapat menerima izin untuk menikah lagi. Isteri dari seorang diakon permanen acap kali dianggap sebagai mitra dalam pelayanan diakonat suaminya, hal ini mendorong timbulnya konsep populer mengenai “pasangan diakon.” Dalam banyak keuskupan, isteri seorang calon diakon menjalani pendidikan dan pelatihan yang sama dengan suaminya.
Seorang diakon permanen tidak disapa dengan sebutan “Romo” sebagaimana seorang imam, tetapi dengan sebutan “Diakon,” disingkat “Dn.” atau “Dkn.” Metode sapaan ini diatur dalam dokumen tahun 2005 dari Konferensi Waligereja Amerika Serikat, “National Directory for the Formation, Ministry and Life of Permanent Deacons in the United States.” Meskipun beberapa keuskupan di Amerika Serikat menggunakan gelar “Rev. Mr.” bagi semua diakon, gelar tersebut lebih tepat digunakan bagi para diakon transisi. Sementara di Indonesia umumnya dipanggil “Frater Diakon”, karena seorang diakon adalah juga seorang “Frater”. Keputusan mengenai apakah diakon boleh mengenakan “kerah Romawi” sebagai perlengkapan pakaian sehari-hari tergantung pada pertimbangan masing-masing uskup untuk keuskupannya sendiri. Makin banyak keuskupan di seluruh dunia yang menginginkan agar diakon diberi busana klerus khusus, agar membedakan mereka dengan para pelayan dari kalangan umat awam.
Dalam Gereja Katolik Roma, wanita tidak dapat ditahbiskan menjadi diakon karena wanita tidak dapat menerima tahbisan. Ada diakon-diakon wanita dalam Gereja dahulu kala, yang membantu mempersiapkan wanita dewasa untuk dibaptis, dan melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya. Jabatan diakon wanita ada dalam Gereja Barat sampai kira-kira abad ke-6, dan dalam Gereja Timur sampai kira-kira abad ke-11. Ada perbedaan pendapat antar sarjana mengenai apakah para diakon wanita dalam sejarah telah ditahbiskan secara sakramental, meskipun liturgi-liturgi penetapan bagi para diakon wanita pada dasarnya mirip dengan bagi para diakon pria. Roger Gryson berpendapat bahwa beberapa diakon wanita dalam sejarah menerima tahbisan sakramental dalam The Ministry of Women in the Early Church (Liturgical Press, 1976, ISBN 0-8146-0899-X), sementara Aimé Georges Martimort berpendapat bahwa tidak ada diakon wanita yang menerima tahbisan sakramental dalam Deaconesses: An Historical Study (Ignatius Press, 1986, ISBN 0-89870-114-7). Phyllis Zagano memberikan suatu argumen kontemporer bagi pemulihan diakonat wanita yang tidak bergantung dari resolusi debat mereka, tetapi justru merinci argumentasinya sendiri dari teologi sistematis, hukum kanonik, sosiologi dan sejarah dalam Holy Saturday: An Argument for the Restoration of the Female Diaconate in the Catholic Church (Crossroad/Herder, 2000, ISBN 0-8245-1832-2).
-sumber: Wikipedia.