TUJUH SAKRAMEN

Sakramen adalah sarana yang dengannya rahmat dari Allah dinyatakan melalui tanda yang diterimakan, yang membantu penerimanya untuk berkembang dalam kekudusan.-sumber: Wikipedia.

Gereja Katolik mengajarkan adanya ‘tujuh sakramen’, dan diurutkan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) sebagai berikut:

  1. Sakramen Pembaptisan:
    • Sakramen ini diberikan dengan cara mencurahkan air ke atas kepala si penerima “dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus” (Matius 28:19). Pelayan sakramen ini adalah seorang uskup atau seorang imam. Pembaptisan membebaskan penerimanya dari dosa asal serta semua dosa pribadi dan dari hukuman akibat dosa-dosa tersebut, dan membuat orang yang dibaptis itu mengambil bagian dalam kehidupan yang baru melalui “rahmat Allah yang menguduskan” (rahmat yang mempersatukan pribadi yang bersangkutan dengan Kristus dan Gereja-Nya).
    • Pembaptisan merupakan landasan komuni (persekutuan) antar semua orang Kristen. Komuni (bahasa Latin: ‘communio‘) kemudian di adaptasi ke dalam bahasa Inggris: ‘communion‘. Dalam bahasa Yunani: ‘koinonia‘ yang berarti persekutuan atau persaudaraan dan digunakan sedemikian rupa untuk hubungan umat Kristen. Kata komuni itu sendiri berarti hubungan antara orang-orang percaya dalam nama Kristus melalui Perjamuan Kudus – sebagai kebersamaan umat Kristen untuk ikut ambil bagian dalam tubuh dan darah Kristus (1 Kor 10:16) serta dalam Roh Kudus (2 Kor 13:13).
    • Pembaptisan menganugerahkan kebajikan-kebajikan “teologis” dan karunia-karunia Roh Kudus (iman, pengharapan dan kasih). Sakramen ini menandai penerimanya dengan suatu meterai rohani yang berarti orang tersebut secara permanen telah menjadi milik Kristus.
  2. Sakramen Penguatan (Krisma):
    • Sakramen ini diberikan dengan cara mengurapi penerimanya dengan Krisma, minyak yang telah dicampur sejenis balsam, yang memberinya aroma khas, disertai doa khusus yang menunjukkan bahwa karunia Roh Kudus menandai si penerima seperti sebuah meterai. Melalui sakramen ini, rahmat yang diberikan dalam pembaptisan “diperkuat dan diperdalam”.
  3. Sakramen Ekaristi:
    • Sakramen ini diberikan dengan cara umat Katolik mengambil bagian dari Tubuh dan Darah Yesus Kristus serta turut serta dalam pengorbanan diri-Nya (Komuni Suci). Roti (yang harus terbuat dari gandum, dan yang tidak diberi ragi, dan anggur (yang harus terbuat dari buah anggur) yang digunakan dalam ritus Ekaristi.
    • Hanya uskup atau imam yang dapat menjadi pelayan Sakramen Ekaristi, dengan bertindak selaku citra pribadi Kristus sendiri. Ekaristi dipandang sebagai “sumber dan puncak” kehidupan Kristiani, tindakan pengudusan yang paling istimewa oleh Allah terhadap umat beriman dan tindakan penyembahan yang paling istimewa oleh umat beriman terhadap Allah.
    • Betapa pentingnya sakramen ini sehingga partisipasi dalam Perayaan Ekaristi (Misa) dipandang sebagai kewajiban pada setiap hari Minggu dan hari raya khusus, serta dianjurkan untuk hari-hari lainnya. Dianjurkan pula bagi umat yang berpartisipasi dalam Misa untuk berada dalam kondisi rohani yang layak untuk menerima Komuni Suci. Menerima Komuni Suci dipandang sebagai kewajiban sekurang-kurangnya setahun sekali selama masa Paskah.
  4. Sakramen Pengakuan Dosa (Rekonsiliasi):
    • Sakramen Pengakuan Dosa / Sakramen Tobat / Sakramen Pengampunan. Sakramen ini adalah sakramen ‘penyembuhan rohani’ dari seseorang yang telah dibaptis yang terjauhkan dari Allah karena telah berbuat dosa.
    • Sakramen ini memiliki empat unsur:
      • Penyesalan si ‘peniten’ (si pengaku dosa) atas dosanya (tanpa hal ini ritus rekonsiliasi akan sia-sia);
      • Pengakuan kepada seorang imam (bermanfaat bagi seseorang untuk mengaku dosa kepada seseorang yang lain)-dampak psikologis positif untuk melegakan perasaan seseorang;
      • Hanya imam yang memiliki kuasa untuk melayani sakramen ini;
      • Absolusi (pengampunan) oleh imam, dan ‘penyilihan‘: pertobatan atas dosa-dosa yang telah diperbuat seseorang.
    • Pengaku dosa harus memulihkan sepenuhnya kesehatan rohaninya dengan melakukan lagi sesuatu untuk memperbaiki kesalahannya: dia harus melakukan ‘silih’ atau ‘memperbaiki kesalahan’ akibat dosa-dosanya. Penyilihan ini juga disebut ‘penitensi‘(KGK 1459).
    • Imam yang bersangkutan terikat oleh “meterai pengakuan dosa”, yang tak boleh dirusak. “Oleh karena itu, benar-benar salah bila seorang pendengar pengakuan, dengan cara apapun mengkhianati peniten, untuk alasan apapun, baik dengan perkataan maupun dengan cara lain” (Kanon 983-Hukum Kanonik). Seorang pendengar pengakuan yang secara langsung merusak meterai sakramental tersebut, otomatis dikenai ekskomunikasi (hukuman pengucilan) yang hanya dapat dicabut oleh Takhta Apostolik (Kanon 1388).
    • Absolusi adalah sebuah pernyataan pengampunan atas dosa-dosa pribadi kepada orang yang bertobat. Kata ini berasal dari bahasa Latin “absolvo” yang berarti membebaskan. Pada zaman Gereja Lama, absolusi diberikan kepada seseorang (disebut juga peniten) yang mengakukan dosanya bersama-sama seluruh jemaat (absolusi umum). Berdasarkan pengakuan dosanya, uskup mengucapkan doa absolusi sambil menumpangkan tangannya ke atas orang yang sedang mengaku dosa. Di mana pada abad ke-8 seorang uskup mengucapkan pernyataan pengampunan dosa dalam bahasa Latin yakni: “Ego te absolvo a peccatis tuis in nomine Patris et Filli et Spiritus Sancti“, yang artinya adalah: “Aku membebaskanmu dari dosa-dosamu dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus.” Namun saat ini pengakuan dosa cukup dilakukan secara pribadi di hadapan seorang imam. Absolusi dapat berupa sebuah pernyataan atau bentuk permohonan, merujuk pada pengampunan yang diberikan oleh Kristus. Absolusi merupakan bagian pokok dari Sakramen Pengakuan Dosa di Gereja Katolik. [KGK 1422]; Bahwa hanya Tuhan saja yang dapat mengampuni dosa, dan karena Yesus adalah Putera Allah maka Ia berkuasa mengampuni dosa (Markus 2:7-10). Secara nyata Ia melaksanakan kuasa-Nya tersebut dengan menyatakan: “Dosamu sudah diampuni” (Markus 2:5, Lukas 7:48); dan berkat otoritas ilahi-Nya, Yesus Kristus memberikan kuasa absolusi ini kepada Para Rasul agar dilaksanakan atas nama-Nya sebagai pelayanan pendamaian bagi seseorang dengan Allah (Yohanes 20:21-23, 2 Korintus 5:20). Melalui Sakramen Imamat, kuasa absolusi yang dimiliki Para Rasul diturunkan kepada para imam melalui penahbisan; dengan demikian para imam yang memberikan absolusi bertindak atas nama Kristus sendiri (‘In persona Christi‘).
    • Manfaat-manfaat sakramen Rekonsiliasi bagi peniten dalam hal rohani berupa::KGK1496 atau Buah-buah rohani dari Sakramen Pengakuan Dosa ialah;
      • perdamaian dengan Allah, yang olehnya pendosa mendapat kembali rahmat;
      • perdamaian dengan Gereja;
      • pembebasan dari siksa abadi, yang orang terima karena dosa berat;
      • pembebasan paling sedikit sebagian dari siksa sementara, yang diakibatkan oleh dosa;
      • perdamaian dan ketenangan hati nurani dan hiburan rohani;
      • pertumbuhan kekuatan rohani.-Lihat: Elemen-elemen Sakramen Tobat.
  5. Sakramen Pengurapan Orang Sakit:
    • Sakramen Pengurapan Orang Sakit adalah sakramen ‘penyembuhan’. Dalam sakramen ini seorang imam mengurapi si sakit dengan minyak yang khusus diberkati untuk upacara ini. “Pengurapan orang sakit dapat diberikan bagi setiap umat beriman yang telah dapat menggunakan akal budi (upaya penyembuhan), yang mulai berada dalam ‘bahaya’ karena ‘sakit’ atau ‘usia lanjut'”(Kanon 1004). Baru menderita sakit ataupun makin memburuknya kondisi kesehatan membuat sakramen ini dapat diterima berkali-kali oleh seseorang.
  6. Sakramen Imamat:
    • Sakramen yang dengannya seseorang ditahbiskan (Imamat) menjadi uskup, imam, atau diakon. Penerima sakramen ini dibaktikan sebagai citra pribadi Kristus. Hanya uskup yang boleh melayani sakramen ini.
      • Pentahbisan seseorang menjadi ‘uskup‘ telah menjadikannya anggota badan penerus (pengganti) para rasul, dan memberi dia misi untuk mengajar, menguduskan, dan menuntun, disertai kepedulian dari semua Gereja.
      • Pentahbisan seseorang menjadi ‘imam‘ mengkonfigurasinya menjadi citra pribadi Kristus selaku Kepala Gereja, serta menganugerahkan baginya kuasa, sebagai asisten uskup yang bersangkutan, untuk melayani perayaan sakramen-sakramen dan kegiatan-kegiatan liturgi lainnya, terutama Ekaristi.
      • Pentahbisan seseorang menjadi ‘diakon‘ mengkonfigurasinya menjadi citra pribadi Kristus selaku ‘Hamba’ semua orang, menempatkan dia pada tugas pelayanan uskup yang bersangkutan, khususnya pada kegiatan Gereja dalam mengamalkan cinta-kasih Kristiani dalam memberitakan firman Allah.
  7. Sakramen Pernikahan:
    • Sakramen Pernikahan diberikan sebagai tanda cinta-kasih yang menyatukan Kristus dengan Gereja, menetapkan di antara kedua pasangan suatu ikatan yang bersifat ‘Permanen‘, yang dimeteraikan oleh Allah. Dengan demikian, suatu pernikahan antara seorang pria yang sudah dibaptis dan seorang wanita yang sudah dibaptis, adalah sah dan telah disempurnakan dan dipersatukan di dalam Kristus, sehingga tidak dapat diceraikan, sebab di dalam kitab suci tertulis;

Markus 10:1–12 TB; Perceraian;
1 Dari situ Yesus berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah seberang sungai Yordan dan di situ pun orang banyak datang mengerumuni Dia; dan seperti biasa Ia mengajar mereka pula.
2 Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?”
3 Tetapi jawab-Nya kepada mereka: “Apa perintah Musa kepada kamu?”
4 Jawab mereka: “Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.”
5 Lalu kata Yesus kepada mereka: “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu.
6 Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan,
7 sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,
8 sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.
9 Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
10 Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu.
11 Lalu kata-Nya kepada mereka: “Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu.
12 Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.”

  • Sakramen ini menganugerahkan kepada pasangan yang bersangkutan rahmat yang mereka perlukan untuk mencapai kekudusan dalam kehidupan perkawinan mereka serta untuk menghasilkan dan mengasuh anak-anak mereka dengan penuh tanggung jawab. Sakramen ini dirayakan secara terbuka di hadapan imam (atau saksi lain yang ditunjuk oleh Gereja) serta saksi-saksi lainnya.

Imamat 18:6-20 TB; Kudusnya Perkawinan;
6 Siapa pun di antaramu janganlah menghampiri seorang kerabatnya yang terdekat untuk menyingkapkan auratnya; Akulah TUHAN.
7 Janganlah kausingkapkan aurat isteri ayahmu, karena ia hak ayahmu; dia ibumu, jadi janganlah singkapkan auratnya.
8 Janganlah kausingkapkan aurat seorang isteri ayahmu, karena ia hak ayahmu.
9 Mengenai aurat saudaramu perempuan, anak ayahmu atau anak ibumu, baik yang lahir di rumah ayahmu maupun yang lahir di luar, janganlah kausingkapkan auratnya.
10 Mengenai aurat anak perempuan dari anakmu laki-laki atau anakmu perempuan, janganlah kausingkapkan auratnya, karena dengan begitu engkau menodai keturunanmu.
11 Mengenai aurat anak perempuan dari seorang isteri ayahmu, yang lahir pada ayahmu sendiri, janganlah kausingkapkan auratnya, karena ia saudaramu perempuan.
12 Janganlah kausingkapkan aurat saudara perempuan ayahmu, karena ia kerabat ayahmu.
13 Janganlah kausingkapkan aurat saudara perempuan ibumu, karena ia kerabat ibumu.
14 Janganlah kausingkapkan aurat isteri saudara laki-laki ayahmu, janganlah kauhampiri isterinya, karena ia isteri saudara ayahmu.
15 Janganlah kausingkapkan aurat menantumu perempuan, karena ia isteri anakmu laki-laki, maka janganlah kausingkapkan auratnya.
16 Janganlah kausingkapkan aurat isteri saudaramu laki-laki, karena itu hak saudaramu laki-laki.
17 Janganlah kausingkapkan aurat seorang perempuan dan anaknya perempuan. Janganlah kauambil anak perempuan dari anaknya laki-laki atau dari anaknya perempuan untuk menyingkapkan auratnya, karena mereka adalah kerabatmu; itulah perbuatan mesum.
18 Janganlah kauambil seorang perempuan sebagai madu kakaknya untuk menyingkapkan auratnya di samping kakaknya selama kakaknya itu masih hidup.
19 Janganlah kauhampiri seorang perempuan pada waktu cemar kainnya yang menajiskan untuk menyingkapkan auratnya.
20 Dan janganlah engkau bersetubuh dengan isteri sesamamu, sehingga engkau menjadi najis dengan dia.

  • Demi ke-sah’an suatu pernikahan, seorang pria dan seorang wanita harus mengutarakan niat dan persetujuan-bebas (persetujuan tanpa paksaan) masing-masing untuk saling memberi diri seutuhnya, tanpa memperkecualikan apapun dari hak-milik esensial dan maksud-maksud perkawinan. Jika salah satu dari keduanya adalah seorang Kristen (non-Katolik), maka pernikahan mereka hanya dinyatakan sah jika telah memperoleh izin dari pihak berwenang terkait dalam Gereja Katolik. Jika salah satu dari keduanya adalah seorang non-Kristen (dalam arti belum dibaptis), maka diperlukan izin dari pihak berwenang terkait demi sahnya pernikahan.

-sumber: KHK; KGK; Wikipedia.